REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sejumlah daerah muncul keluhan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Menanggapi hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengatakan, kebijakan teknis merupakan tanggung jawab daerah.
Menurut data yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat tujuh kasus terkait PPDB. Lima di antaranya berasal dari DKI Jakarta, satu kasus dari Banten, dan satu dari Jawa Barat.
Pengaduan yang diterima KPAI tercatat dimulai pada 27 Mei 2020 hingga 5 Juni 2020. Di luar itu terdapat juga protes yang dilakukan orang tua siswa di Yogyakarta terkait kebijakan nilai Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD untuk PPDB SMA.
"Kalau mau protes ke Disdik atau Gubernur saja. Biar dijelaskan kenapa pemda membuat kebijakan lokal seperti itu," kata Plt. Diretkur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen), Hamid Muhammad, dihubungi Republika, Senin (8/6).
Hamid menegaskan, peraturan tersebut sudah tercantum dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB. Di dalamnya, ditegaskan daerah memiliki tugas untuk membuat kebijakan teknis terkait PPDB.
Pengaduan terkait PPDB berupa masalah teknis yang diterima KPAI sebanyak empat kasus. Masalah ini misalnya adalah pencatatan data sekolah asal.
Komisi KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, pengaduan teknis semacam ini merupakan kewenangan Dinas Pendidikan setempat.
Selain itu, terdapat tiga pengaduan lain terkait kebijakan yang dianggap tidak adil bagi anak-anak. Ketidakadilan yang pertama adalah di PPDB zonasi DKI Jakarta, hanya 40 persen padahal menurut Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 Tentang PPDB, minimal untuk zonasi adalah 50 persen.
Pengaduan lain di DKI Jakarta juga berkaitan dengan indikator seleksi berupa usia. Apabila usia menjadi indikator seleksi, orang tua murid khawatir anaknya yang masih tergolong muda tidak bisa mendaftar ke jenjang SMA.