REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep S Muhtadi (Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Bandung)
Menteri Agama RI, Fachrul Razi, telah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia tahun 2020 ini. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan kemaslahataan, menghindari penularan virus corona (Covid)-19 yang hingga kini masih belum menemukan titik terang, kapan akan berakhir.
Keputusan ini sekaligus menjadi jawaban atas tanda-tanya yang menghimpit para calon jamaah haji yang hingga keputusan itu diumumkan masih menyimpan harap-harap cemas. Sebagiannya ada yang kecewa, membayangkan bertahun-tahun nabung untuk ongkos naik haji, ketika tiba saatnya, tak jadi berangkat.
Tapi, tidak sedikit juga yang bersyukur atas ketidakjadian itu, terutama karena rasa was-was menghadapi musibah wabah yang mesih penuh tanda Tanya ini. “Alhamdulillah”, ujar Kang Kurdi, “haji tahun ini ditunda keberangkatannya hingga tahun 2021”. Mereka tidak bisa membayangkan jika tahun ini dipaksakan berangkat, bagaimana interaksi dengan sesama jamaah yang datang dari berbagai penjuru dunia yang tidak dipastikan aman.
Bagi saya sendiri, pembatalan keberangkatan ini mengingatkan pada kisah yang pernah menimpa salah seorang generasi tabiin yang gagal berangkat haji. Syahdan, seorang tukan sol sepatu dari negeri Damsyik, bertahun-tahun menabung uang hanya untuk bisa menunaikan ibadah haji. Ketika sudah terkumpul, ia pun membulatlan tekad untuk berangkat menunaikan ibadah haji.
Tapi, ketika semua persiapan telah dilaluinya dengan tertib dan nyaris sempurna, tiba-tiba seseorang datang untuk meminta bantuan. Pikirannya pun tergoda untuk bisa menolongnya. Singkat cerita, ia pun mengalihkan uang untuk ongkos nak haji itu pada sikap baiknya dengan menyerahkan uang itu pada yang membutukannya itu. Ia tahu, kalau saja tidak ditolong, maka nyawanya akan terancam hilang. Dengan tulus ia pun menolongnya.
Tibalah musim haji. Di tengah gemuruh jamaah haji di tanah suci, dua Malaikat menyaksikan kerumunan jamaah haji di Padang Arafah. Seorang Malaikat bertanya kepada yang lainnya: “Ada berapa jumlah jamaah haji tahun ini?,” tanyanya. Malaikat yang satunya lagi pun menjawab: “Ada dua ratus ribu orang.”
“Lalu dari jumlah itu, ada berapa orang yang dinyatakan mabrur?,” tanya yang satunya lagi kembali bertanya. “Hanya ada satu,” jawabnya tegas. “Lha, siapa yang satu itu, dan mengapa?,” keheranan pun menyelimutinya dan kembali bertanya. “Dia adalah si tukang sol sepatu dari negeri Damsyik. Dia telah berniat haji sejak bertahun-tahun, dan ketika tiba waktunya, dia dengan tulus menginfakkan uang yang telah dikumpulkannya itu kepada yang membutuhkan pertolongannya,” jawabnya tanpa ragu.
Kisah sederhana ini pun mudah-mudahan dapat menjadi penyejuk bagi para calon jamah haji tahun ini yang karena alasan kemaslahatan, tidak jadi berangkat. Tidak ada masalah dengan pahala yang menjadi impian para calon jamaah haji. Bukankah si tukang sol sepatu itu pun tidak jadi berangkat, tapi justru hanya satu-satunya dia yang dinyatakan memperoleh pahala mabrur. Subhanallah..!
Solusi Produktif Haji Indonesia
Lalu bagaimana dengan para calon jamaah haji Indonesia tahun ini, yang telah menyisihkan hartanya untuk kepentingan keberangkatan ibadah haji? Haruskah mereka memberikannya kepada siapapun yang membutuhkan bantuan, seperti halnya si tukang sol sepatu dari negeri Damsyik itu? Lalu siapa mereka yang membutuhkan pertolongan itu?
“Oo, tidak!” berinfak tidak selalu harus seperti si tukang sol itu. Berinfak sebagai upaya penyaluran kebajikan itu banyak cara dan jalannya. Misalnya, berinfak untuk kepentingan dunia pendidikan. Berapa banyak saat ini masyarakat yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan, meski hanya memenuhi standard Wajar Dikdas Sembilan tahun.
Masih banyak saat ini orang Indonesia yang tidak sampai sanggup menyelesaikan pendidikan hingga tamat SLTP/Tsanawiyah hanya karena persoalan biaya pendidikan. Apalagi kalau harus mencapai hingga jenjang pendidikan tinggi. Berapa banyak jumlah penduduk usia sekolah saat ini yang dinyatakan masih duduk di bangku sekolah atau bangku kuliah?
Belum lagi hadirnya variable lain yang saat ini sedang melilit masyarakat Indonesia bahkan masyaraat dunia. Gara-gara musibah wabah Covid-19 kemampuan ekonomi masyarakat pun menurun drastis. Untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar makan tiga kali sehari pun, sudah banyak masyarakat yang angkat tangan.
Jadi, diperkirakan, lima sampai sepuluh tahun ke depan, akan banyak pengangguran putus sekolah, yang hanya sanggup mengenyam pendidikan hingga tahun ketiga atau kelima Sekoah Dasar. Target memasuki Indonesia Emas tahun 2045 itu bisa jadi hanya sebuah imajinasi. Anak-anak yang tahun ini berusia 10 tahunan, mereka akan menjadi generasi berusia 35 tahun pada 2045. Usia-usia yang tanggung, belum bekerja, ijazah rendah, tapi mungkin sudah mulai bereproduksi karena sudah memasuki usia berkeluarga.
Mungkin, ada yang mulai berfikir di seputar saluran dana haji yang tak jadi itu. Ongkos naik haji ini cocoknya untuk kepentingan pendidikan Islam, semacam madrasah atau pesantren. Ya, sama saja. Masyarakat kita yang putus sekolah di madrasah atau pendidikan tinggi agama Islam juga banyak yang bermasalah secara ekonomi. Lalu bagaiman solusi penyalurannya?
Mereka butuh bantuan. Bantuan pendidikan. Salah satunya, mereka butuh bantuan bea siswa. Dan kebutuhan itu pun tidak besar. Kebutuhn itu sangat dapat ditolong melalui dana ongkos naik haji yang gagal berangkat itu. Jika, misalnya, ada 50 ribu orang calon jamaah haji yang gagal berangkat, dan mereka sepakat membentuk sebuah yayasan beasiswa, dan dapat mengumpulkan 50 persen saja dari dana ongkos naik haji yang tertunda itu, maka akan terkumpul Rp 750 miliar, dengan asumsi ongkos naik haji hanya Rp 30 juta. Jika seorang siswa atau mahasiswa perguruan tinggi agama Islam membutuhkan biaya kuliah sekitar Rp 5 juta, maka dana sebesar itu akan sanggup mengcover sekitar 150 ribu orang siswa/mahasiswa.
Sekali lagi, itu jika hanya 50 persen saja dari ONH yang besarnya diasumsikan hanya Rp 30 juta. Belum lagi dihitung dana bekal dan dana oleh-oleh yang biasanya bisa melebihi besarnya ONH. Malah Kang Kurdi iseng-iseng hanya menghitung dana walimah al-safar saja. Jika dari 50 ribu orang calon jamaah itu 50 persennya menyelenggarakan walmah al-safar, dengan rata-rata biaya Rp 10 juta, maka akan terkumpul tidak kurang dari RP 250 miliar.
Dana sebesar itu cukup untuk memberikan bea-siswa kepada tidak kurang dari 100 ribu orang siswa madrasah, dengan asumsi setiap siswa membutuhkan biaya sekolah Rp 2,5 juta. Padahal faktanya, biaya walimah al-safar saja bisa melebihi angka Rp 10 juta. Lebih-lebih kalau acara walimah al-safar sudah dianggap sebagai sebuah prestise.
Inilah, antara lain, hikmah dari ketidakjadian berangkat tahun ini. Para calon jamaah haji yang gagal berangkat dapat membentuk yayasan beasiswa di satu sisi dengan maksud membantu biaya pendidikan anak-anak Islam, baik yang sedang menuntut ilmu di madrasah, belajar di pesantren, maupun kuliah di perguruan tinggi agama Islam, dan di sisi yang lain pun, ia masih akan dapat pahala haji seperti didramatisasi dua Malaikat di atas dengan aktor utamanya si tukan sol sepatu dari negeri Damsyik. Wallahu ‘alam.