REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pada tahun 1940-an, pada zaman fasisme kolonialisme Jepang berkuasa di Indonesia, maestro ludruk Cak Durasim terpaksa berurusan dengan kekuasaan. Pasalnya, dia membuat humor yang dianggap sarkas ketika membawakan ngremo atau bersyair ala ludruk yang khas sekaligus jenaka. Syair legendaris itu begini: "Pegupon omahe doro, urip melu Nippon tambah sengsoro" (pegupon rumahnya burung dara, Ikut Nippon semakin sengsara).
Meski parikan (pantun Jawa) kala itu membuat orang tertawa, nasib Cak Durasim yang kelahiran dari kampung yang sama dengan presiden yang terkenal gemar membuat lucuan, Gus Dur, hidupnya kemudian tak enak. Panggung ludruknya berubah petaka. Pemerintah Jepang kala itu marah besar. Cak Duraim ditangkap masuk penjara. Ia meninggal dunia setahun kemudian dan dimakamkan di Makam Islam Tembok. Berkat keberanian itu, namanya dikenang sepanjang masa sebagai seniman serta pahlawan.
Kisah ini memang menjadi salah satu babak paling tragis sekaligus heroik dalam sejarah budaya dan sosial Indonesia. Namun, ini pun sebenarnya tak terjadi di sini saja. Di fenomena negara lain, misalnya Jerman semasa diperintah Hitler pun, ada kisah sama. Kisah jenaka sekaligus tragis tentang dunia lucuan ini pernah dimuat dalam koran terkemuka negeri itu, De Spegiel, beberapa tahun silam. Tulisan lucuan seperti itu begini.