REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Inilah satu sungai yang diributkan atau diperebutkan tiga negara: Mesir, Sudan, dan Ethiopia. Nil namanya. Perebutan air Sungai Nil yang kemudian berkembang menjadi keributan ini tak jarang diwarnai dengan saling ancam. Berbagai pertemuan dan perundingan delegasi tiga negara masih terus berlangsung, belum menemukan happy ending alias win-win solution.
Bagi Mesir — dan juga Sudan —, Sungai Nil adalah segalanya. Ia adalah hidup dan mati sekitar 100 juta jiwa warga Mesir. Ya minumnya, ya pertaniannya, ya pariwisatanya.
Lihatlah Nil yang membelah Kairo, telah mempercantik kota. Gedung-gedung, hotel, dan vila-vila yang berada di pinggir Nil sangat mahal harganya. Pada malam hari, sejumlah kapal menawarkan makan malam yang lezat kepada para wisatawan sambil berkeliling Kairo, disertai suguhan belly dance dan pemandangan kerlap-kerlip lampu ibukota Mesir itu.
Tidak banyak buku yang ditulis mengenai sungai-sungai di dunia sebanyak Nil. Entah dalam bentuk puisi, prosa, atau esai. Entah sejarahnya, geografinya, atau legendanya. Bahkan air Sungai Nil pun digambarkan dengan berbagai warna: putih, biru, dan bahkan merah. Buku-buku itu umumnya mengaitkan Nil dengan Mesir. Keduanya diibaratkan sepasang siang dan malam, saling melengkapi. Hubungan keduanya, tulis kolomnis dari Lebanon Samir Atallah, adalah kisah tanpa awal dan tanpa akhir. Salah satu mitos terkenal di Mesir, jika orang asing meminum air Sungai Nil, maka suatu saat ia akan kembali lagi ke Mesir.
Berkat Sungai Nil, Mesir pun mempunyai julukan Ummu ad Dunya, Ibu Dunia. Julukan ini bertolak dari sejarah Mesir sebagai salah satu peradaban awal di muka bumi. Lembah Nil melahirkan peradaban. Dari peradaban Babilonia, Nabatea, Yunani, dan terakhir peradaban Islam. Dari lembah ini pula ditemukan peradaban berupa aksara. Dari aksara Mesir kemudian lahir aksara-aksara yang beragam di seluruh dunia.
Namun, warga Mesir kini diliputi kekhawatiran bahwa Sungai Nil, sumber kehidupan utama mereka, sedang terancam. Sebuah bendungan raksasa saat ini hampir selesai dibangun di Ethiopia, yang dikhawatirkan bisa mengganggu volume air Nil ketika tiba di Mesir. Kekhawatiran tersebut sedang menjadi pembicaraan hangat di warung-warung kopi. Media al Sharq al Awsat menyebut bila ada dua orang Mesir bertemu, maka pembicaraannya tidak lepas dari masalah Bendungan Ethiopia.
Bendungan itu sendiri, selain untuk irigasi juga akan menjadi pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika dan terbesar ketujuh di dunia. Bendungan ini disebut akan mampu memproduksi listrik untuk kebutuhan Ethiopia dan dua negara tetangganya, Eritrea dan Sudan.
Bendungan ini diberi nama Renaissance Dam atau Sadd an Nahdla, Bendungan Kebangkitan, terletak di Sungai Nil Biru (Blue Nile) di wilayah Benishangul-Gumuz, Ethiopia, sekitar 15 km di timur perbatasan dengan Sudan. Nil sendiri mempunyai dua anak sungai: Nil Putih dan Nil Biru. Nil Putih merupakan hulu sungai dan alirannya meliputi sebelas negara, di antaranya Ethiopia, Sudan, dan Mesir.
Nil Biru bersumber dari Danau Tana di Ethiopia dan mengalir ke Sudan dari tenggara. Kedua anak sungai — Nil Putih dan Nil Biru — bertemu di utara Khartoum, ibukota Sudan, lalu mengalir ke Mesir dan berakhir di delta besar, lanjut ke Laut Mediterania. Sungai Nil merupakan sungai terpanjang di dunia, sekitar 6.650 km, diukur dari Nil Putih. Namun, sebagian besar volume air Nil, sekitar 80 persen, yang mencapai Sudan dan Mesir berasal dari Nil Biru. Itulah sebabnya, bendungan yang dibangun Ethiopia di Nil Biru sangat mengkhawatirkan Sudan dan Mesir. Bagi kedua negara ini, Sungai Nil merupakan sumber utama kehidupan.
Renaissance Dam merupakan keinginan rakyat Ethiopia sejak lama. Namun, keinginan itu tidak pernah terealisasi lantaran negara itu, seperti terjadi di banyak negara Afrika lain, terjerumus dalam pemberontakan, kudeta, saling sikut kekuasaan, dan perebutan pengaruh antarsuku. Belum lagi kekeringan panjang dan konflik bersenjata dengan beberapa negara tetangga — Djibouti dan Somalia di timur, Eriteria di utara, Sudan di barat laut, Sudan Selatan di barat, dan Kenya di barat daya.
Akibat dari semua itu, seperti pernah didendangkan Iwan Fals pada 1986, dalam lagu ‘Ethiopia’, bangsa yang mempunyai sejarah panjang ini pun mengalami penderitaan yang kronis — kekeringan, kelaparan, dan kematian yang mengerikan. Pendek kata, bila kita ingin membayangkan kehidupan di neraka, ya Ethiopia itulah neraka. Neraka adalah Ethiopia.
Namun, itu dulu. Kini Ethiopia telah berubah. Negara berpenduduk sama dengan Mesir, sekitar 100 juta, ini kini sedang menyongsong pembangunan di segala bidang. Bahkan, Ethiopia kini merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat di Afrika. Sebelum Covid-19, rata-rata perekonomian negara itu tumbuh 8 persen setiap tahun.
Keinginan rakyat Ethiopia memiliki sebuah bendungan besar mulai terwujud pada 2011 di masa Perdana Menteri Meles Zenawi, yang dianggap arsitek kebangkitan ekonomi Ethiopia. Bendungan itu pun dinamakan Renaissance Dam , untuk menandai kebangkitan negara itu. Proyek raksasa ini kemudian dilanjutkan oleh Hailemariam Desalegn Boshe yang menjadi PM dari 2012 sampai 2018.
Pembangunan bendungan semakin digenjot — agar sesuai target — di masa Abiy Ahmed Ali, 44 tahun, yang terpilih menjadi PM Ethiopia pada Maret 2018 hingga sekarang. Pekerjaan Abiy semakin mudah ketika tahun lalu ia menerima penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian, terutama yang menyangkut lobi-lobi internasional terkait bendungan raksasa.
Biaya proyek raksasa ini juga raksasa, sekitar 4,8 miliar dolar AS. Dana ini antara lain diperoleh dari sumbangan dari pemotongan gaji pegawai negeri dan penerbitan obligasi pembiayaan yang secara khusus ditujukan kepada masyarakat imigran Ethiopia yang jumlahnya jutaan jiwa.
Dana dari masyarakat Ethiopia ini tentu saja sangat kecil, namun penting, bermakna simbolis untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kebanggaan di negara yang sering dikoyak isu kesukuan. Dana terbesar dari pembangunan bendungan raksasa ini berasal dari Cina. Disusul oleh lembaga-lembaga keuangan di Amerika, Eropa, dan negara-negara kaya Teluk.
Kini, sekitar 70-80 persen pembangunan bendungan telah selesai. Bahkan, proses pengairan awal bendungan sekitar 4,8 miliar meter kubik air, dari total kapasitas yang mencapai 74 miliar, juga telah terlaksana. Kekhawatiran Mesir dan Sudan akan berkurangnya air Nil belum terjadi karena bersamaan dengan musim hujan di Ethiopia.
Walau begitu, Mesir tetap memperingatkan bahwa penurunan 1 persen saja dari volume air Nil akan mempengaruhi area luas lahan pertaniannya dan sekaligus mengancam ketahanan pangannya. Pengisian dan pengoperasian bendungan secara sepihak dan tanpa persetujuan Mesir dan Sudan akan meningkatkan ketegangan dan dapat memicu krisis dan konflik.
Kita tentu berharap warna merah air Nil saat dua anak sungainya bertemu di awal musim panas, seperti dikatakan pelancong Inggris Robert Twigger, benar-benar warna alami. Bukan dalam pengertian metaforis darah dan konflik manusia.