Senin 10 Aug 2020 20:04 WIB

Rumah Tahfizh Alquran: Arus dari Bawah

Rumah Tahfizh menjadi episentrum baru bagi masyarakat yang berminat belajar Alquran.

Buku Rumah Tahfidz
Foto: Tangkapan Layar
Buku Rumah Tahfidz

REPUBLIKA.CO.ID, Tertuang di dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 91/2020, bahwa Rumah Tahfizh adalah satuan pendidikan keagamaan Islam non-formal yang mengkhususkan untuk menghafal, mengamalkan, dan membudayakan nilai-nilainya dalam sikap hidup sehari-hari yang berbasis hunian, lingkungan, dan komunitas.

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam (PMA 13/2014). Informasi tersebut, didatangkan untuk selanjutnya berusaha mendudukkan Rumah Tahfizh dalam kerangka besar pendidikan nasional di Indonesia. Rumah Tahfizh, berdasar informasi di atas, adalah termasuk dalam pendidikan keagamaan Islam non-formal.

Rumah Tahfizh, nyatanya, telah lahir, tumbuh, dan berkembang, bahkan sebelum dua aturan tersebut hadir. Lebih “heroik” dari itu, entitas pendidikan bernama pondok pesantren bahkan lahir dan berkembang sebelum republik ini lahir. Rumah Tahfizh lahir dari inisiatif, ide kreatif, dan dari cita-cita mulia sekelompok masyarakat yang terpanggil untuk berpartisipasi dalam pembangunan manusia melalui jalan pendidikan Alquran di berbagai pelosok negeri.

Sudah menjadi tugas dan wewenang negara, untuk selanjutnya mengafirmasi, merekognisi, dan memfasilitasi sesuai dengan aturan yang ada. Rumah Tahfizh sekilas memiliki historisitas yang menyerupai pesantren.

Di dalam sejarahnya, awal kehadiran pesantren disebut sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, saat semua individu yang memiliki keturunan bangsawan dididik dalam lembaga pendidikan kraton (Abdurrahman Wahid, 1999:111). Dalam kadar tertentu, pun demikian dengan Rumah Tahfizh.

Rumah Tahfizh menjadi semacam episentrum baru bagi semua lapisan masyarakat yang memiliki minat kuat untuk belajar Alquran (menghafal, memahami, dan mengamalkannya), tetapi memiliki kendala jika harus di Pesantren Tahfizh Alquran. Rumah Tahfizh hadir menampung semua lapisan masyarakat dari beragam latar belakang sosial, ekonomi, bahkan dari beragam usia.

Di dalam buku berjudul Rumah Tahfizh: sejarah, gerakan, dan dinamika membumikan tahfizh Alquran dari Yogyakarta, yang ditulis oleh Ustadz Tarmizi As Shidiq, dengan fasih diuraikan secara memadai perihal historisitas gerakan dan dinamika perjuangan membumikan tahfizh Alquran melalui Rumah Tahfizh. Buku ini mulanya adalah karya akademik penulisnya, yang diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Jakarta, guna menyelesaikan pendidikan jenjang pascasarjana.

Disebutkan oleh penulis, gerakan Rumah Tahfizh yang kini dikenal luas oleh masyarakat, diinisiasi pertama kali oleh Ustadz Yusuf Mansur pada medio 2003. Setelah melalui perjuangan yang tidak enteng, pada tahun 2018, Rumah Tahfizh Daarul Qur’an telah mencapai 1.027 dengan jumlah santri setidaknya 50.178 santri.

Rumah Tahfizh Daarul Qur’an yang berjumlah 1.027, tersebar di seluruh penjuru pelosok negeri, bahkan di beberapa kota di luar negara. Ia setiap saat mendarmabaktikan kehadirannya untuk memberikan penerangan agama (Islam) di tengah masyarakat Indonesia yang plural. Ia menjadi sentra-sentra pendidikan Alquran yang siap sedia menyapa dan disapa oleh siapa pun dan kapan pun.

Dari sekian banyak jumlah Rumah Tahfizh Daarul Qur’an yang ada, Ustadz Tarmizi melakukan zoom in terhadap 14 Rumah Tahfizh yang ada di Kota Pendidikan Yogyakarta. Yang menarik, penulis mengajukan beberapa dalil sehingga memilih lokus penelitiannya di Yogyakarta. Dengan berlandas sumber-sumber otoritatif, penulis menandaskan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan pluralitas sistem kepercayaan sangat tinggi (terdapat 79 sistem kepercayaan).

Pada sisi lain, pada 2014 Yogyakarta dinobatkan sebagai “Kota Paling Islami” oleh lembaga Maarif Institute. Di sinilah relevansinya, mengapa Rumah Tahfizh Yogyakarta menjadi pilihan fokus studi Ustadz Tarmizi.

Gampangnya, predikat kota paling Islami, patut diduga kuat tak dapat dilepaskan dari budaya mempelajari Alquran. Dan Rumah Tahfizh, adalah piranti strategis untuk hal itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement