REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arys Hilman, Jurnalis Republika
Sebagai penggemar batik dan jins, jarang-jarang saya memakai jas. Sepanjang hidup, agaknya, dandanan demikian hanya saya alami ketika sidang skripsi, menikah, dan meliput acara kepala negara. Hal terakhir pun langka--maklum, saya tak pernah menjadi wartawan istana.
Situasi langka itu, antara lain, saya jalani saat menemui Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, pada Agustus 2007. Saya bergabung dengan para wartawan dari sembilan negara ASEAN. Kami antre di pos jaga Istana Singapura. Tas digeledah. Badan bolak-balik lewat metal detector. Halaman-halaman paspor cermat-cermat dibaca. Jas--yang tak begitu acap saya pakai itu--dibuka dulu. Sabuk dan sepatu juga.
Istana Singapura tegak di atas bukit di kawasan Orchard. Arsitekturnya bergaya Neo-Palladian, mirip gedung-gedung karya arsitek militer Inggris di India pada abad ke-18. Dulu, sebelum gedung-gedung pencakar langit di CBD Singapura berdiri, dari istana di ketinggian 140 meter itu akan tampak pulau-pulau Indonesia.
PM Lee muncul dengan senyum hangat. Satu demi satu tamu ia sapa. Sampai orang kelima. Lalu saya merasa, senyumnya pudar. Belum tentu ini benar, tapi saya merasa ia terganggu oleh tamu keenamnya, lelaki satu-satunya yang tak mengenakan jas dan hanya memakai kemeja gelap bergaris-garis; kemeja yang ujung bawahnya dibiarkan menjuntai di luar celana kasualnya.
Jas menjadi seragam wajib saat berjumpa sang perdana menteri di Istana. Setidaknya, itu wanti-wanti Kementerian Luar Negeri Singapura selaku tuan rumah. Untuk acara-acara lain, mereka tak memberikan ketentuan apa pun. Saya membayangkan, baru kali itu PM Lee bertemu dengan wartawan yang tak berjas dalam pertemuan formal di istananya, pakai kemeja menjuntai pula.
Namun, sudahlah. Itu bukan urusan saya. Hari itu, hal terpenting bagi saya adalah bertanya tentang defence cooperation agreement (DCA) dan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Dua isu yang pembahasannya macet. Pemerintah RI menilai DCA yang menguntungkan Singapura—karena menjadikan wilayah Natuna sebagai tempat latihan jet tempurnya—bukan hal yang layak untuk dibarter dengan perjanjian ekstradisi.
Dapat juga kesempatan bertanya itu. Satu, setengah basa-basi, saya ajukan, tentang hubungan kedua negara. Jawaban anak PM Lee Kuan Yew ini mudah ditebak, beraroma basa-basi pula: Indonesia negara penting bagi Singapura; Indonesia menarik bagi investor; Indonesia faktor penentu bagi kawasan.
Pertanyaan berikutnya tentu soal DCA dan perjanjian ekstradisi. Lee Hsien Loong lugas dalam hal ini. Ia mengatakan keduanya terserah Indonesia karena ia menilai yang mempersulit negosiasi justru pihak-pihak di Jakarta, bukan Singapura.
"Isu ini dipersulit di DPR … mereka mencoba menyerang pemerintah Indonesia seperti juga melalui isu Iran dan berbagai isu domestik," katanya.
Paham benar situasi di negeri sendiri, saya membantahnya, "Bukan hanya DPR yang keberatan, para menteri pun mempersoalkan barter DCA dengan perjanjian ekstradisi itu."
Saya tak merasa ada yang salah dengan ucapan itu. Tapi saya lupa saat itu sedang di Singapura, negeri yang kepala pemerintahannya tak terbiasa mendengarkan pers berbeda pendapat dengannya. Saya langsung merasakan ketidaksukaan tuan rumah. Benar saja. Ia berkata, "Tidak ada perlunya bagi kami untuk bernegosiasi melalui Anda."
Tiba-tiba, saya merasa ibarat tamu tanpa jas yang tak dikehendaki di istana itu. Pintu bertanya buat saya telah tertutup. Kepala pemerintahan dengan gaji tertinggi sedunia itu mengalihkan perhatian kepada wartawan dari negara lain.
Singapura yang maju secara ekonomi selalu jauh di bawah Indonesia dalam hal kebebasan pers. Pada saat saya berkunjung, posisinya dalam indeks kebebasan pers ada pada urutan 141, sementara Indonesia pada posisi 100.
Berbeda dengan di Jakarta, pers Singapura jauh dari ingar-bingar politik. Saat saya bertemu sang perdana menteri pada 2007, headline koran-koran setempat adalah taksi yang menabrak gedung dan sopirnya tewas.
Sepekan dalam acara bersama wartawan-wartawan ASEAN di sana, saya pun bisa merasakan betapa kolega dari negeri seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia selalu bersikap lebih terbuka dan percaya diri dibandingkan wartawan Vietnam, Laos, Myanmar, dan Singapura. Kami sempat berkunjung ke kantor harian terbesar negeri itu dan fokus tuan rumah lebih tertuju pada masalah media sebagai institusi bisnis daripada lembaga kontrol.
Waktu kuliah, salah satu yang saya pelajari adalah empat teori pers versi Fred S. Siebert, Theodore Paterson, dan Wilbur Schramm. Susah memasukkan Singapura ke dalam teori berumur setengah abad yang sangat beraroma Eropa itu.
Dari sudut kemandirian usaha dan fungsinya bagi pelayanan sistem ekonomi, jelas pers Singapura termasuk kategori libertarian. Namun, dari sudut politik, mereka gagal memenuhi kategori libertarian maupun tanggung jawab sosial karena tidak pernah menjadi watch dog bagi pemerintah.
Hampir semua rumah tangga di negeri itu berlangganan koran, tapi masyarakatnya enggan membaca isu politik. Mereka sejak dulu terkenal dengan ketertarikan pada "5 C", yaitu cash, car, credit card, condominium, dan country club. Belakangan, muncul pula ketertarikan mereka pada "1 F" yaitu family, tetapi politik tetap bukan hal yang seksi.