Kamis 15 Oct 2020 12:31 WIB

Studi Sebut Penyintas Covid-19 Mungkin Alami Kabut Otak

Beberapa orang berpendapat kabut otak mirip dengan sindrom kelelahan pasca-virus.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Dwi Murdaningsih
Terapi plasma darah dari penyintas Covid-19 disebut bisa membantu perawatan pasien Covid-19. Sejumlah negara telah mempraktikkan terapi plasma darah termasuk Indonesia.
Foto: EPA-EFE/Bienvenido Velasco
Terapi plasma darah dari penyintas Covid-19 disebut bisa membantu perawatan pasien Covid-19. Sejumlah negara telah mempraktikkan terapi plasma darah termasuk Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit covid-19 melibatkan beragam gejala yang mengintai lama setelah infeksi hilang.  Di antara banyak gejala yang ditimbulkannya, mulai dari dada yang berat hingga sakit kepala, tampaknya sejumlah besar orang terus menderita perasaan “kabut otak” setelah sembuh dari Covid-19.

Masih terlalu dini untuk mengatakan seberapa umum pengalaman ini, meskipun sejumlah studi kasus menunjukkan hal itu bisa sangat lazim.  Satu studi menanyakan 120 orang yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19, bagaimana perasaan mereka selama 100 hari setelah pertama kali dirawat. Peneliti  menyimpulkan bahwa setengah dari pasien yang pulih merasa lelah dan lebih dari sepertiga mengatakan mereka mengalami kehilangan ingatan.

Baca Juga

Sebuah studi pendahuluan baru-baru ini dari Korea Selatan mensurvei 65 pasien Covid-19 yang pulih. Studi menemukan bahwa 91,1 persen dari mereka menderita setidaknya satu efek samping yang bertahan lama, paling sering kelelahan diikuti oleh kurangnya konsentrasi atau "kabut otak".

Bagian dari kesulitan dalam memahami kabut otak adalah bahwa kabut tersebut dapat memengaruhi orang dengan cara yang berbeda. Namun, bisa didefinisikan sebagai perasaan lelah yang melibatkan kelelahan, suasana hati yang buruk, kehilangan ingatan, kebingungan dan kesulitan dengan konsentrasi.