Ahad 01 Nov 2020 06:33 WIB

Budaya Ilmu dalam Islam dan Masalah Pendikotomiannya

Islam adalah agama yang mengajarkan budaya yang berdimensi sosial yang sangat tinggi

Red: A.Syalaby Ichsan
Baitul Hikmah era modern di Baghdad, Irak.
Foto:

Upaya Penghilangan Dikotomi Ilmu

Memperhatikan beberapa uraian di atas, patut diungkapkan di sini pernyataan Roger Graudy dalam bukunya Mencari Agama pada Abad XX:Wasiat Filsafat Roger Graudy, Jakarta: Bulan Bintang, 1986. “Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan, tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern.”

George Sarton pernah menulis: “Adalah tidak mungkin mempunyai pemahaman yang “benar” tentang ilmu-ilmu dalam Islam tanpa pemahaman yang mendalam tentang ajaran al-Qur’an. Hal demikian menjadi fenomena fundamental dan universal sepanjang abad pertengahan. Teologi menjadi inti agama sekaligus ilmu pengetahuan. Karena itu ilmu dan agama merupakan dua hal myang tidak terpisah, dan kita tidak bisa berharap memahami yang satu secara baik tanpa memahami bagian lainnya.” Yang menarik, bahasa al-Qur’an pada waktu itu telah menjadi sarana penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan 

Setelah memperhatikan kebobrokan sains Barat sekuler yang dirundung cacat besar, maka perlu segera dirimuskan sains alternatif. Banyak tawaran dalam hal ini diantaranya: sains tauhidullah. Sains tauhidullah ini merupakan alternatif yang berdiri sendiri, berbeda dengan alur pikir yang ditempuh oleh sains Barat. Alur pikir sains tauhidullah dilakukan dengan observasi yang dipandu oleh Tuhan sendiri.

Landasan teori sains tauhidullah adalah bahwa setiap observasi harus dipandu dengan kalam Allah (mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring). Untuk itu diperlukan kemampuan yang baik dalam membuat premis-premis al-Qur’an. Menurut Soewardi perlu kerjasama yang erat antara pakar-pakar syari’ah dan pakar-pakar non syari’ah, kerjasama yang intensif dan saling asah, asih dan asuh.

Upaya lain dalam rangka perjumpaan sains dan agama adalah mengembangkan ilmu agama dengan bantuan ilmu pengetahuan modern. Karena ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia yang dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Termasuk di dalamnya untuk menafsirkan teks-teks agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, agar pemahaman kita terhadap ayat suci tidak stagnan (Abdul Karim Soroush, 2002: 18-19). 

Di sinilah tampak pentingnya mendialogkan wilayah sains dan teknologi serta wilayah kajian humaniora dan ilmu-ilmu sosial dalam studi–studi keagamaan. Gerakan rapprochment ini dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Upaya ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada milenium ke tiga serta tanggungjawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas. Pendekatan di atas bisa juga disebut dengan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin.

Usaha untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu ini antara lain dapat dilakukan dengan: menyatukan lokasi pendidikan dan program kerjasama penelitian yang banyak melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu dan juga program kuliah lintas disiplin. 

Namun demikian hal yang lebih mendasar dari sekedar menggabungkan lokasi pendidikan adalah perlunya dibangun suatu ilmu yang mengombinasikan antara prinsip-prinsip ajaran metafisika dan moral islam dengan ilmu modern yang berorientasi pada pengalaman empiris. 

Kuntowijoyo (2003: 67-69) juga mengusulkan perlunya integrasi ilmu dan agama, yang ia sebut sebagai ilmu-ilmu integralistik, yang merupakan paradigma Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian secara sistematis. Penelitian ini dapat berupa: (1) grand theory (merumuskan pendapat-pendapat al-Qur’an, misalnya mengenai gejala-gejala sejarah), (2) studi teori (tokoh-tokoh Islam mengenai salah satu cabang humaniora, seperti al-Ghazali tentang musik, Iqbal tantang puisi.(3)Studi lapangan, berupa generalisasi, seperti “Tari Islam Tradisional” di Asia Tenggara, studi komparatif, dan studi kasus. Dengan pemahaman mengenai adanya struktur transendental al-Qur’an, yaitu gambaran kita mengenai sebuah bengunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat metahistoris, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Premispremis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Dari ide-ide normatif ini, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat empiris, dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakankebijakan aktual..

Ayat-ayat Al-Quran sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis uantuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al- Qur’an akan meghasilkan konstruk-konstruk teoretis al-Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an. 

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian di atas adalah bahwa persoalan dikotomi ilmu pengetahuan yang terjadi dalam dunia pendidikan secara global dan belum mendapatkan solusi pemecahannya secara komprehensif.

Terpisahnya ilmu pengetahuan sains umum dan ilmu pengetahuan agama merupakan hasil ketidakpercayaan masyarakat dunia Barat terhadap agama yang mereka anut, dan terhadap gereja sebagai penyelenggara agama mereka tersebut. Para ilmuwan Barat yang mulai mengenal ilmu sains pada awal abad ke 14 menganggap bahwa agama mereka hanyalah menjadi penghambat bagi kemajuan sains itu sendiri, dengan segala dogma yang terkandung di dalamnya.

Islam sendiri sejak kelahirannya 1500 tahun yang lalu tidak pernah mengenal istilah dikotomi ilmu pengetahuan. Semua ilmu yang terdapat di dunia ini merupakan ilmu Allah yang satu, berdasarkan ayat ayat Kauniyah dan Kaulliyah Allah Subhannahu wata’ala.

Sistem pendidikan di Indonesia sendiri masih bersifat dikotomis, dengan dipisahnya ilmu-ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama itu sendiri. Dengan kata lain, sifat sekulerisme masih digunakan dalam system pendidikan nasional.

Jadi logikanya, perdaban ilmu itu muncul ketika peradaban keimanan kepada Allah Subhannahu wata’alla.sudah demikian kuatnya. Sesungguhnya Allah Subhannahu wata’alla. telah menyediakan sumber ilmu di dunia ini lewat Al Qur’an, dan lewat alam beserta isinya.  Kita harus menggali seluruh ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an dan alam semesta ini dengan menggunakan akal yang Allah berikan kepada kita, sebagai manusia yang kamil. Melalui ilmu yang kita dapatkan, kita bisa menciptakan sebuah kebudayaan yang luhur dalam bidang ilmu, sains, teknologi, seni, dan lain sebagainya. Semuanya harus kita budidayakan sebagai jalan untuk menuju peradaban yang diridhoi oleh Allah Subhannahu wata’alla..

Wallahu’alam bissowab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement