REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Abhan mengatakan, terdapat 1.038 pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) per 16 November 2020, terdiri dari 934 kasus temuan Bawaslu dan 104 kasus laporan masyarakat. Padahal, hari pemungutan suara akan berlangsung kurang dari sebulan lagi, yakni 9 Desember 2020.
"Dari data tersebut KASN (Komisi ASN) telah mengeluarkan rekomendasi 938 kasus, lima kasus telah diproses, dan 95 kasus dinyatakan bukan pelanggaran," ujar Abhan dikutip laman resmi Bawaslu RI, Rabu (18/11).
Ia mengatakan, ASN kerap menyalahgunakan kewenangan untuk mengelola keuangan dan aset negara. Fasilitas negara pun dapat disalahgunakan untuk keuntungan kelompok tertentu, terutam dalam pelaksanaan pemilihan.
Kemudian, Abhan menyampaikan bentuk pelanggaran netralitas ASN lainnya, seperti memengaruhi warga dengan politik uang agar memilih pasangan calon tertentu. ASN melarang atau menghalangi pemasangan alat peraga kampanye (APK) pasangan calon.
ASN memengaruhi perangkat desa untuk berpihak kepada pasangan calon tertentu. ASN juga dapat menyalahgunakan kewenangan dalam merencanakan program dan distribusi bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 ini.
Selain itu, kata Abhan, ASN juga terlibat dalam kampanye pasangan calon sebagai tim kampanye atau tim sukses pasangan calon. Bahkan, ASN membuat kebijakan dalam bentuk surat keputusan serta menggerakkan struktur birokrasi, memengaruhi, dan mengintimidasi para pegawai bawahan di jajaran.
Ia juga menyebutkan, setidaknya sudah ada 12 putusan pengadilan negeri yang menjatuhkan hukuman kurungan penjara kepada pejabat negara yang melanggar ketentuan pemilihan. Sanksi pidana ini sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Pilkada.
"Iya, 12 yang sudah putusan pengadilan negeri," kata Abhan.
Beberapa kasus dikenakan Pasal 188 yang menyebutkan setiap pejabat negara, pejabat ASN, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling Rp 600 ribu atau maksimal Rp 6 juta.
Pasal 71 ayat 1 menyebutkan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala sesa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.