Selasa 24 Nov 2020 07:25 WIB

Indef: APBN 2021 Masih ‘Sakit’

Pendapatan negara masih jauh di bawah normal jika dibandingkan sebelum pandemi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan Sri Mulyani menerangkan mengenai postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)- ilustrasi. Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai APBN tahun depan masih dalam kondisi 'sakit'.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Menteri Keuangan Sri Mulyani menerangkan mengenai postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)- ilustrasi. Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai APBN tahun depan masih dalam kondisi 'sakit'.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyebutkan, kondisi kas negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan masih dalam kondisi ‘sakit’ dan membutuhkan penyembuhan. Pandemi Covid-19 yang menekan pendapatan negara menjadi faktor utamanya.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan, pendapatan negara masih jauh di bawah normal kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Tingkat kontraksinya mencapai 21,9 persen menjadi Rp 1.473,6 triliun, turun signifikan dari situasi normal yang dapat mencapai hampir Rp 2.200 triliun.

Baca Juga

"Sehingga, kami sebut APBN tahun depan masih sakit," tuturnya dalam Webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi, Senin (23/11).

Penurunan terbesar terjadi pada penerimaan pajak, minus 22,6 persen. Pandemi menyebabkan banyak perusahaan industri maupun sektor lain mengalami penurunan penjualan yang berimbas pada tekanan terhadap pendapatan mereka. Dampaknya, setoran pajak ke negara pun ikut turun dibandingkan waktu normal.

Di sisi lain, belanja negara tahun depan yang sebesar Rp 2.750 naik 8,3 persen dibandingkan sebelum pandemi dan naik 0,39 persen dibandingkan tahun ini. Kenaikan terutama terjadi pada belanja pemerintah pusat, baik belanja kementerian/ lembaga yang tumbuh 13,5 persen maupun non kementerian/ lembaga, naik 13,2 persen.

Tapi, Tauhid menyebutkan, ada satu poin yang ditinggalkan dalam fase pemulihan ekonomi saat ini. Kenaikan belanja pemerintah pusat tidak diikuti dengan pertumbuhan belanja ke daerah. Transfer ke daerah justru kontraksi 7,2 persen dibandingkan sebelum pandemi. Padahal, belanja ke daerah menjadi harapan besar bagi daerah yang kini mengalami tekanan dari sisi pendapatan asli daerah.

Faktor lainnya yang menyebabkan APBN 2021 masih sakit adalah defisit. Tauhid menjelaskan, defisit yang ditetapkan sebesar 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) patut dipertanyakan efektivitasnya. Sebab, kenaikannya sangat tinggi yakni 227.6 persen sebelum pandemi, meski lebih rendah dibandingkan proyeksi tahun ini yang di level 6,3 persen.

Apabila dilihat, Tauhid menambahkan, penambahan pembiayaan akibat defisit harusnya sejalan dengan proses pertumbuhan ekonomi di tahun depan. "Tapi, kalau dilihat proyeksi ekonomi 2021 hanya tiga persen, maka tidak worth it terhadap upaya alokasi defisit yang demikian besar," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement