REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Delirium disebut menjadi salah satu gejala baru Covid-19. Penyakit ini diklaim banyak ditemukan di pasien Covid-19 berusia lanjut atau lansia.
Dokter spesialis saraf RSA UGM, dr Fajar Maskuri mengatakan, delirium merupakan gangguan sistem saraf pusat berupa gangguan kognitif dan berkurangnya kesadaran ke lingkungan. Ini terjadi akibat disfungsi otak bagi beberapa pasien Covid-19.
Delirium memiliki beberapa gejala salah satunya kebingungan bagi pasien Covid-19, disorientasi, mengigau, sulit konsentrasi/kurang fokus, gelisah dan halusinasi. "Gejala itu munculnya fluktuatif dan biasanya berkembang cepat dalam beberapa jam atau beberapa hari," kata Fajar, Jumat (18/12).
Ia menyebut, penyebab delirium di pasien Covid-19 karena multifaktor. Kurangnya oksigen dalam tubuh, penyakit sistemik dan inflamasi sistemik, gangguan sistem pembekuan darah terlalu aktif, dan infeksi Covid-19 yang langsung ke saraf.
Lalu, mekanisme autoimun usai infeksi dan endoteliitis turut berpengaruh kepada munculnya delirium di pasien. Tapi, dengan intensitas lebih jarang dibandingkan mekanisme yang lain.
Gangguan neurologis dapat terjadi 42,2 persen ke pasien Covid-19. Sedangkan, manifestasi neurologis tersering di pasien Covid-19 ada nyeri otot 44,8 persen, nyeri kepala 37.7 persen, delirium 31.8 persen, dan dizziness 29,7 persen. "Secara umum, delirium dialami 13-19 persen pasien Covid-19," ujar Fajar.
Delirium rentan terjadi ke orang lansia atau di atas 65 tahun, terutama yang lemah. Ada beberapa kondisi lain yang menyerupai delirium Covid-19 kepada lansia, seperti akibat gangguan kognitif yang bersifat fluktuatif.
Salah satunya yang terjadi kepada ensefalopati uremikum serta gangguan kognitif bersifat terus-menerus seperti dalam demensia. Delirium banyak dijumpai kepada pasien Covid-19 lansia, tapi tidak berarti pasien usia muda tidak bisa terkena.
Ditemukannya delirium kepada pasien Covid-19 usia muda menandakan ensefalopati akibat gangguan pernafasan yang berat. Dapat pula terjadi ke pasien yang terima obat psikotropika karena kondisi penyakit tertentu.
Untuk itu, peran keluarga sangat penting memberi informasi riwayat penyakit dan obat yang dikonsumsi pasien kepada petugas medis saat pasien dirawat. Delirium di pasien Covid-19 berhubungan dengan kegagalan sistem multi-organ.
"Karenanya, pasien Covid-19 dengan gejala berat berisiko empat kali lipat mengalami delirium. Delirium kepada Covid-19 berhubungan dengan pemanjangan masa rawat inap (length of stay) hingga tiga kali lipat," kata Fajar.
Jangka panjang, delirium berhubungan dengan luaran fungsional yang lebih buruk dari pasien Covid-19 yang dirawat. Sebab, pasien membutuhkan pemantauan jangka panjang untuk menilai beban akibat delirium yang sebenarnya.
Sedangkan, di pasien Covid-19 dengan gejala ringan yang tidak membutuhkan rawat inap dilaporkan mengalami gangguan konsentrasi yang terus-menerus dan penurunan memori jangka pendek. Karenanya, evaluasi sistem saraf dan kognitif penting.
Khususnya, kata Fajar, untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut dan menentukan terapi rehabilitasi yang dibutuhkan pasien. Karenanya, ia mengimbau agar masyarakat mengenali dan waspadai delirium yang bisa jadi gejala awal Covid-19.
"Segera periksakan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat bila ada keluarga yang dicurigai mengalami kondisi delirium," ujar Fajar.