Jumat 05 Feb 2021 00:53 WIB

Program Sekolah Penggerak Dinilai Sulit Efektif

Tiga program Kemendikbud yakni PSP, POP dan PGP disarankan tidak dipecah-pecah.

Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim (kiri), menyatakan Program Sekolah Penggerak (PSP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berpotensi tidak efektif.
Foto: Republika/Prayogi
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim (kiri), menyatakan Program Sekolah Penggerak (PSP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berpotensi tidak efektif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyatakan Program Sekolah Penggerak (PSP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berpotensi tidak efektif. PSP dinilai hanya akan bisa menjangkau sekolah yang memang sudah baik.

“PSP berpotensi tidak akan efektif mengingat sekarang masih kondisi pandemi, untuk belajar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) saja banyak kendala,” ujar Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (4/2).

Baca Juga

Pelatihan-pelatihan online bagi guru tentu hanya akan mampu mengakomodir guru yang punya akses digital. Seperti memiliki laptop atau gawai, dan akses internet.

“Kita paham ada 46.000 sekolah menurut Kemenko PMK yang tak bisa PJJ Online selama ini," ujarnya.

Selain itu, PSP sangat mirip dengan Program Guru Penggerak (PGP) dan Program Organisasi Penggerak (POP). Sebab sasarannya sama yaitu peningkatan kompetensi guru dalam pembelajaran. Guru-guru ini akan diprioritaskan menjadi pimpinan sekolah.

"POP itu fokusnya pelatihan untuk peningkatan kompetensi guru oleh ormas yang kemarin sempat menjadi polemik. Lalu PGP juga melatih dan menyiapkan guru-guru menjadi pemimpin. Sedangkan PSP untuk memperbaiki ekosistem sekolah yang juga ada entitas guru di dalamnya. Jadi saling tumpang-tindih, tak fokus," ujar dia.

Kemudian persoalan target jumlah sekolah dari PSP yakni 2.500 sekolah pada 2021, lalu 10.000 sekolah sampai 40.000 tahun keempat. “Kami mempertanyakan apakah jumlah ini representatif mengingat sekolah di Indonesia hampir 400.000 sekolah mulai PAUD-SMA/SMK. Menjadi pertanyaan para guru dan kepala sekolah juga, apa landasan penentuan sekolah penggerak?" katanya.

Kemudian program ini juga berdasarkan inisiatif sendiri atau dipilih. Jika inisiatif sendiri, ia bertanya bagaimana jika angka 2.500 itu nantinya mayoritas diisi oleh sekolah-sekolah yang selama ini sudah sangat baik dan baik, akreditasi A, akses digitalnya bagus, dan penuh prestasi.

"Bagaimana peluang sekolah-sekolah pinggiran, prestasi minim, apalagi statusnya swasta, akreditasi C bahkan belum terakreditasi? Bagaimana PSP dapat memberikan intervensi kepada dua potret kualitas sekolah yang sangat kontras di atas?" ucapnya.

Dewan Pakar P2G, Suparno Sastro, menilai hendaknya tiga program Kemendikbud yakni PSP, POP dan PGP tidak dipecah-pecah, sebab ketiganya saling berkaitan erat. “Jadi terlihat tidak fokus, terkesan hanya target menghabiskan anggaran,” katSuparno.

Dari target sekolahnya pun, P2G merekomendasikan agar untuk dua sampai tiga tahun fokus dulu membenahi sekolah-sekolah yang selama ini performanya buruk. Misalnya akreditasi C dan belum terakreditasi, belum banyak tersentuh kebijakan pemerintah selama ini, hasil UKG guru rendah, dan indikator lainnya.

“Artinya PSP ini harus fokus terlebih dulu bagi sekolah yang butuh pendampingan khusus selama ini,” kata Suparno.

Jika mekanisme perekrutan PSP sifatnya inisiatif mandiri sekolah, maka yang akan memenuhi target sasaran 2.500 sekolah PSP adalah sekolah dan guru yang sudah baik, akses digitalnya bagus, dan menguasai pembelajaran digital. Alhasil sekolah-sekolah pinggiran, kualitas rendah akan semakin terpinggirkan oleh PSP dan PGP.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement