Rosalita Chandra, SH,MH (Ibu rumah tangga, dosen dan praktisi hukum)
REPUBLIKA.CO.ID, Pernahkah ada yang bertanya, bagaimana seorang Ibu mampu melewati masa pandemi yang berlangsung hampir setahun ini? Kata ‘mampu’ sebenarnya masih sarat makna positif. Kenyataannya, jangankan mampu, masih bisa waras bertahan melalui pandemi ini saja sudah prestasi tersendiri. Bagaimana tidak? Curahan hati ibu-ibu yang harus di rumah saja menjalankan peran istri, orangtua, guru sekaligus pengurus rumah tangga ramai bertebaran di dunia maya.
Namun semua keluh itu seperti teriakan sunyi yang tiada arti. Sebab tak tertuju kemana hendak dialamatkan. Hanya bisa pasang status derita di medsos lalu menunggu disemangati komentator di kolom chat. Itu sudah cukup mengusir sedikit lelah, tapi tetap tak menyelesaikan permasalahan.
Jika mengeluh kepada suami, ia pun sedang berpikir keras bagaimana berjuang menghidupi keluarga di situasi ekonomi sulit seperti ini. Berkeluh kepada orangtua, mereka pun sedang sarat kesedihan menahan sepi karena tak bisa bercengkerama dengan anak cucu seperti biasanya. Jangankan memeluk cucu, bertemu pun harus dari jauh dan mengenakan masker. Kala kesabaran menipis lalu kemarahan terluap pada anak-anak, mereka pun sudah tertekan dalam dunia tanpa kawan. Tak bisa ke sekolah, berpayah memahami penjelasan guru lewat zoom meeting yang putus-putus, dan kehilangan kebahagiaan bermain dengan teman-teman.
Kalau pun ingin mengadukan amarah dan derita kepada pemerintah, rasanya tak elok juga. Selain khawatir kebablasan berpendapat di muka publik hingga mencoreng marwah negara, mencemarkan nama baik institusi atau menyebar fitnah. Juga karena sebagai seorang warga negara yang telah menitipkan kuasanya dalam kontrak sosial dengan negara, sepatutnya tak cuma menuntut. Tapi juga memberikan kepercayaan besar dan khusnuzhon, bahwa pemerintah pasti dapat menyelesaikan segala persoalan bangsa di masa pandemi ini dengan sebaik-baiknya. Janganlah sampai kepercayaan itu hilang.
Sebagaimana kita percaya bahwa situasi akan membaik karena menonton youtube selebritis yang berkunjung ke tempat-tempat wisata di masa pandemi. Membangun harapan, membuai ilusi jika kita akan bisa juga segera keluar rumah dan berlibur menghibur diri. Maka kepercayaan itu menjadi penting bagi pemerintah. Sebab begitu hilang rasa percaya, maka tercerabutlah kuasa-kuasa banyak orang. Lalu apa yang menjadi kekuatan negara nantinya?
Oleh karena itu, lebih pantaslah jika kita menyibukkan diri melihat kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengatasi pandemi. Bagaimana pemerintah menghargai para tenaga kesehatan dan relawan. Bagaimana pemerintah memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi rakyat yang terpapar Covid-19. Dan bagaimana pemerintah mengupayakan solusi-solusi dalam bidang ekonomi demi mempertahankan kehidupan warga negaranya.
Memang patut jika pemerintah terfokus hanya pada masalah kesehatan dan ekonomi. Sedangkan bagaimana ketahanan seorang Ibu menghadapi masa pandemi ini, haruslah diupayakan oleh Ibu itu sendiri. Sebagai seorang Ibu, tentu tidak akan menolak peran yang melekat sesuai fitrahnya. Tidak akan jua mampu mengabaikan tugas mulia dan kewajiban yang menyertainya. Termasuk kewajiban untuk tunduk pada berbagai produk hukum yang diterbitkan selama masa pandemi ini. Mulai dari Perppu, Perpres, Permenkes, hingga peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Termasuk pula Peraturan Gubernur sampai Surat Edaran Satgas COVID-19. Semua produk hukum tersebut ramai-ramai mengatur masyarakat di masa pandemi.
Berapa banyak kategori larangan, perintah dan kewajiban yang mendadak diberlakukan? Berapa banyak sanksi yang menyertainya?
Bagi ibu-ibu yang hanya mencoba bertahan di rumah dengan segala permasalahannya, jangankan membaca Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang mengatur kewajiban vaksin berikut sanksi jika menolaknya. Mengetahui adanya ketentuan hukum bagi Ibu untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan saja tidak. Padahal pemberian ASI eksklusif diatur Pasal 128 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dan jangankan mengetahui Peraturan Gubernur mengenai pembatasan operasional mall dan restoran hingga pukul 19.00 Wib, membedakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saja sulit.
Belum satu peraturan mampu dipahami, sudah muncul peraturan baru lagi. Belum efektif satu kebijakan berlakunya, sudah bertambah-tambah kebijakan lainnya. Ini membuat Ibu makin merana. Sudahlah situasi kehidupan serba tak menentu, masalah rumah tangga meningkat, tergerus pula oleh kebijakan hukum. Bagaimana pemerintah dapat mengatur orang sedemikian banyak untuk tidak berkerumun? Bagaimana pula menerapkan mekanisme hukum untuk menjerakan orang yang menyebabkan terjadinya kerumunan atau orang yang ikut-ikut berkerumun secara adil? Apakah sanksi pidana mampu menjadi solusinya? Padahal asas ultimum remedium menyatakan agar hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.
Kiranya akan lebih menyenangkan jika pemerintah mampu mengedepankan empati dan mendorong sosialisasi berkesinambungan yang mudah dimengerti oleh masyarakat dalam masa pandemi ini. Membius orang untuk tetap bertahan di rumah walau dengan segala masalahnya, melalui tayangan positif yang memotivasi untuk taat protokol kesehatan. Menghindari kegaduhan yang tercipta dari terbitnya produk hukum itu sendiri. Dan merangkul masyarakat untuk fastabiqul khairat dalam menyelesaikan pandemi ini. Sehingga vaksin pun tidak sekedar menjadi kewajiban warga negara yang diikuti ketakutan pengenaan sanksi pidana. Tetapi lebih kepada kebutuhan primer rakyat sendiri agar selamat melewati pandemi ini.
Dengan kebijakan hukum yang bernurani di masa pandemi, akan tercipta ketahanan Ibu sebagai garda penjaga keluarga. Hukum yang berempati, akan mendorong toleransi Ibu untuk beradaptasi dengan sulitnya masa pandemi. Ibu yang kuat dan bahagia, akan mampu pula menciptakan ketahanan keluarga yang baik.