Ahad 07 Mar 2021 20:32 WIB

Frasa Agama Hilang, Ini Kata Asosiasi Guru Agama Islam

AGPAII mengatakan pendidikan harus dibangun di atas pondasi agama dan kemanusiaan.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi guru agama. Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi menanggapi hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang dirumuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Foto: Republika
Ilustrasi guru agama. Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi menanggapi hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang dirumuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi menanggapi hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang dirumuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mahnan mengatakan, peta jalan pendidikan tanpa frasa agama tidak akan melahirkan manusia yang mampu melakukan apropriasi diri, yakni mengintegrasikan pengetahuan bagi perkembangan sosial.

Padahal, tantangan pada masa depan, mulai dari disrupsi teknologi, perubahan sosial-budaya, hingga perubahan iklim, akan melahirkan disrupsi budaya, agama tanpa makna, dan perubahan interaksi sosial. "(Karena itu) Pendidikan harus dibangun di atas pondasi agama dan kemanusiaan. Bukan untuk mengejar hedonisme, individualistik, dan matrialistik,” kata Mahnan dalam keterangan tertulisnya, Ahad (7/3).

Baca Juga

Ia mengatakan, di tengah tantangan saat ini, orientasi masyarakat akan lebih banyak kepada pemenuhan indrawi dan materialistik. Karena itu, pendidikan jangan sekedar melahirkan manusia yang mampu beradabtasi dan berkolaborasi dalam memenuhi capaian-capaian kesuksesan. 

Selain itu, pendidikan jangan hanya menjadi pemenuhan dahaga penyakit diploma. Itu yang menjadi tujuan peta jalan pendidikan.

"Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang mampu bertindak secara benar, agar dapat belajar (ethical self-appropriation)," katanya 

Sebab, ia mengatakan, pendidikan yang seperti ini akan melahirkan manusia yang mampu bertanggungjawab sebagaimana hakekat martabat manusia. Ia mengatakan tanggung jawab itu ditujukan tidak saja pada egoisme pribadi untuk mencapai kesuksesan materi dan mengejar hedonisme, melainkan sekaligus tanggungjawab kepada sesama, lingkungan, dan alam semesta dan Tuhan.

Ia pun mendasarkan peta jalan dengan filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantoro, yakni kontinuitas (dasar dan menjaga warisan kebudayaan), konvergenisitas (kemampuan berdialog dengan budaya dari luar dan baru) dan konsentrisitas (pendidikan yang melahirkan kreativitas dan inovasi). Teori trikon tersebut ini didasari oleh lima asas dasar pendidikan atau Panca Dharma, yakni asas kodrat alam, kemerdekaan, budaya, kebangsaan, dan kemanusiaan.

“Peta jalan pendidikan yang hanya melihat tantangan yang bersifat matrialistik, padahal pendidikan harus didasarkan kepada nilai agama," katanya.

Ia mengatakan, tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Sisdiknas juga menekankan output manusia Indonesia yang betaqwa dan berakhlak mulia dengan tetap mampu menjawab tantangan global. Menurutnya, visi pendidikan yang bertumpu pada teori trikon akan melahirkan model pendidikan yang mengembangkan kemampun untuk berpikir rasional. 

Sebab, pendidikan seharusnya juga melahirkan manusia yang mampu memahami pengalaman sebagai sebuah konteks menyeluruh dalam memahami kehidupan. "Pendidikan seharus mendorong siswa memahami  pengalaman agar bisa belajar tentang kehidupan, selain itu dasar pendidikan juga harus menyiapkan siswa mampu melakukan pengamatan, melihat dari dekat dalam mengembangkan perhatian terhadap realitas kehidupan," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement