REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan dewan mendukung pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Menurut Huda, PTM diperlukan untuk meminimalisir learning loss dan dampak-dampak sosial budaya di masyarakat yang mengganggu perkembangan anak.
Huda berpendapat, jika pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring terus dilakukan maka anak tidak akan mendapatkan pendidikan dengan baik. Ia menilai, selama ini pemerintah tidak cekatan untuk membangun sistem PJJ yang lebih efektif dalam rangka mengganti PTM.
Menurutnya, PJJ selama satu tahun ini berjalan di tempat. Padahal, Huda mengatakan dewan memiliki ekspektasi tinggi terhadap Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim terkait pelaksanaan PJJ. Namun, faktanya di lapangan masyarakat tidak puas dengan pembelajaran yang selama ini berlangsung.
"Saya tanya (ke masyarakat) PJJ efektif berapa persen. Ada yang bilang 60 persen, 50 persen nggak sampai, 40 persen ada yang bilang sampai ada yang tidak. Ketemu titiknya 30 persen PJJ itu efektif," kata Huda, dalam diskusi bertajuk Tatap Muka atau Tetap Daring, Kamis (24/6).
Selain itu, Komisi X juga melihat saat ini anak Indonesia sudah ada yang berubah status menjadi pekerja kasar akibat membantu orang tuanya. Situasi ini tidak bisa disalahkan karena perekonomian memang sedang mengalami krisis, termasuk juga dengan pendapatan orang tua.
"Angka ini cukup tinggi terkait anak yang berubah status menjadi pekerja. Ini kalau nggak secepatnya kembali ke sekolah, mereka akan menikmati jadi kerja serabutan," kata dia lagi.
Selanjutnya, Huda mengatakan saat ini perkawinan anak meningkat. Salah satu faktornya karena anak tidak pergi ke sekolah. Berdasarkan survei KPAI, dari 20 anak, tiga sampai empat orang telah melaksanakan pernikahan dini.
Huda mengatakan, secara psikologis anak-anak sudah terganggu selama setahun PJJ ini. Mengembalikan anak ke sekolah menjadi penting agar mereka bisa mendapatkan pendidikan dan tetap terjaga psikologisnya.