REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat tanah air kembali dihadirkan dengan kabar kebocoran data pribadi. Perusahaan pemantau kejahatan siber, Hudson Rock menyebutkan dalam akun twitter-nya bahwa pencurian data dialami BRI Life.
Dalam screenshot atau tangkapan layar yang dibagikan melalui akun twitter, terlihat banyak domain dan subdomain dari BRI yang datanya diambil.
Huge breach - threat actor is selling sensitive data from BRI Life, the insurance arm of Bank Rakyat Indonesia 🇮🇩.
In a 30 minutes video they demonstrate the vast amount of data (250gb) they managed to obtain.
- 2,000,000 clients
- 463,000 documents
- $7,000 asking price pic.twitter.com/3nm8StPLIa
— Alon Gal (Under the Breach) (@UnderTheBreach) July 27, 2021
Pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa pada saat dicek di raidforums, ada akun bernama Reckt sempat meng-upload sampel data yang dia jual, namun beberapa saat kemudian dihapus. Akun tersebut menjual Database Nasabah BRI LIFE INSURANCE (2 juta lebih nasabah) dan Scan Dokumen (lebih dari 463 ribu).
“Ada sebanyak 463.519 file dokumen dengan ukuran mencapai 252 GB dan juga ada file database berisi 2 juta nasabah BRI Life berukuran 410MB. Untuk sampel sendiri yang diberikan berukuran 2,5 GB berisi banyak file dokumen. Dua file lengkap tersebut ditawarkan dengan harga 7.000 dolar AS (sekitar Rp 100 juta-red) dan dibayarkan dengan bitcoin,” kata chairman lembaga riset siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.
Pratama menambahkan, database-nya memiliki pin polis asuransi (sha1), detail lengkap tentang pelanggan yang menggunakan ASURANSI BRI LIFE, total manfaat, total periode tahun. Lalu juga ada dokumen bermacam-macam seperti KTP, KK, NPWP, foto buku rekening bank, akta kelahiran, akta kematian, surat perjanjian, bukti transfer, bukti keuangan, bukti surat kesehatan seperti EKG, diabetes dan lainnya.
Dari sampel yang didapat, datanya sangat lengkap. Mulai dari data mutasi rekening, bukti trasnfer setoran asuransi, KTP, ada juga tangkapan layar perbicangan WA nasabah dengan pegawai BRI Life. Ada pula dokumen pendaftaran asuransi, KK, beberapa formulir pernyataan diri dan kesanggupan, bahkan lengkap dengan polis asuransi jiwa juga ada lengkap disertakan.
“Artinya dari klaim Hudson Rock sebagai pihak yang menginformasikan kebocoran maupun pelaku penjual data, kemungkinan besar benar. Bahwa data yang mereka klaim tersebut memang berisi berbagai data dari nasabah BRI Life,” jelasnya.
Ditambahkan olehnya tentu ini menjadi perhatian serius. Bila diperhatikan dari tangkapan layar yang dibagikan Hudson Rock, data jelas diambil karena pembobolan situs. Bisa dilihat bagaimana situs-situs BRI Life disebutkan bahkan beserta username atau akun login, password dan IP.
“Perlu dilakukan forensik digital untuk mengetahui celah keamanan mana yang dipakai untuk menerobos, apakah dari sisi SQL (Structured Query Language) sehingga diekspos SQL Injection atau ada celah keamanan lain. Seperti adanya compromised dari akun BRI Life yang juga berpotensi dimanfaatkan hacker untuk masuk ke dalam sistem,” ucap dia.
Pratama menjelaskan, dari sini juga bisa disimpulkan bahwa sumber kebocoran data adalah akibat peretasan, bukan akibat jual beli data dari pihak internal atau pegawai. Tentu kita tidak ingin kejadian ini berulang, karena itu UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) sangat diperlukan kehadirannya, asalkan mempunyai pasal yang benar-benar kuat dan bertujuan mengamankan data masyarakat.
Menurut Pratama, sebaiknya penguatan sistem dan SDM harus ditingkatkan, adopsi teknologi utamanya untuk pengamanan data juga perlu dilakukan. Indonesia sendiri masih dianggap rawan peretasan karena memang kesadaran keamanan siber masih rendah.
Yang terpenting dibutuhkan UU PDP yang isinya tegas dan ketat seperti di Eropa. Ini menjadi faktor utama, banyak peretasan besar di tanah air yang menyasar pencurian data pribadi.
“Kebocoran data di Indonesia sudah kritis seperti ini seharusnya Pemerintah dan DPR bisa sepakat untuk menggolkan UU PDP. Tanpa UU PDP yang kuat, para pengelola data pribadi baik lembaga negara maupun swasta tidak akan bisa dimintai pertanggungjawaban lebih jauh dan tidak akan bisa memaksa mereka untuk meningkatkan teknologi, SDM dan keamanan sistem informasinya,” kata dia.