Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Tak butuh waktu lama bagi Taliban untuk menguasai Afghanistan setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan penarikan pasukan pada April lalu.
Satu per satu distrik dan wilayah strategis direbut Taliban dengan cepat. Bak efek domino, para milisi juga dengan mudah merebut ibu kota Provinsi hingga akhirnya Kabul jatuh tanpa ada perlawanan berarti.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri. Pasukannya bercerai berai tanpa ada komando jelas.
Negara Barat pun terkaget-kaget dengan kemampuan Taliban yang sangat cepat menjatuhkan pemerintahan. Mengapa hanya dalam waktu hitungan bulan Kabul dapat jatuh.
Namun terlepas dari kemampuan Taliban menguasai pemerintahan, pekerjaan besar sebenarnya justru baru saja dimulai. Setidaknya ada empat tantangan utama bagi kelompok itu ke depan.
Pertama yakni bagaimana membangun pemerintahan inklusif seperti dijanjikan oleh kelompok tersebut. Dalam membentuk pemerintahan inklusif, dibutuhkan dialog dan komunikasi yang intensif dalam menyusun sebuah konstitusi.
Konstitusi tersebut harus menjamin persamaan hak-hak dasar warga, tanpa membedakan jenis kelamin atau asal etnis. Begitu juga soal perlindungan hukum dan jaminan keamanan. Semua sama di mata hukum, tanpa mengenal pandang bulu. Dalam teorinya hal ini mungkin mudah, namun dalam pelaksanaannya, bisa jadi sangat sulit.
Terbentuknya pemerintahan yang inklusif dan konstitusi bersama akan mampu membangun kepercayaan masyarakat terhadap Taliban. Selama ini citra Taliban, baik di dalam maupun di luar negeri terbilang kurang bagus, terutama terkait dengan hak-hak perempuan. Hal itu mengacu sejarah masa lalu ketika Taliban memimpin negara sebelum akhirnya digulingkan AS pada 2001.
Tantangan kedua adalah memulihkan kondisi ekonomi. Perekonomian Afghanistan saat ini sangat terpuruk. Amerika Serikat dan negara-negara Barat membekukan akses maupun bantuan bagi Taliban.
Aset Bank Sentral Afghanistan di AS senilai 9,4 miliar dolar AS telah dibekukan. Di sisi lain, banyak warga Afghanistan yang berjuang hidup di tengah kekeringan. Dana bantuan kemanusiaan diperkirakan akan habis pada September. Padahal hampir setengah populasi Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Satu-satunya jalan bagi Taliban adalah mencari dana pinjaman atau investasi dari luar, dan kini yang memberi harapan itu adalah China. Beijing merupakan harapan utama mengingat posisinya yang juga berseberangan dengan negara-negara Barat.
Sebelum menguasai Kabul, perwakilan Taliban telah terlebih dulu mengunjungi China, melobi agar Beijing mau ikut bergabung membangun Afghanistan. Beijing pun siap membantu Taliban dengan memberi catatan khusus. China ingin agar Taliban menjaga wilayah perbatasan kedua negara dan tidak mengizinkan gerakan Turkistan Timur berkembang.
Jika persoalan ekonomi ini tak terpecahkan, maka stabilitas akan sulit tercapai. Arus imigran semakin besar, dan gerakan perlawanan semakin luas.
Tantangan ketiga yang dihadapi Taliban ada menaklukan kelompok perlawanan yang saat ini terpusat di Lembah Panjshir. Hingga Jumat (3/9), pertempuran masih berlangsung antara Taliban dan Aliansi Utara. Kedua belah pihak saling mengklaim keunggulan.
Pemimpin gerakan di Panjshir ialah Ahmad Massoud. Ia adalah putra dari Ahmad Shah Massoud yang menjadi tokoh perlawanan melawan Soviet tahun 1980-an. Shah Massoud menolak Taliban dan dibunuh oleh Alqaidah dua hari sebelum serangan World Trade Centre. Selain dari milisi aliansi utara, kelompok multi etnik ini juga berisi eks tentara Afghanistan. Jumlahnya dikabarkan mencapai ribuan.
Tantangan terakhir yakni mendapatkan pengakuan dari negara-negara luar. Bagaimanapun Taliban tidak mungkin memerintah, tanpa ada pengakuan dari negara lain. Negara-negara Barat dalam pernyataan teranyarnya belum akan mengakui pemerintahan Taliban dalam waktu dekat, meski pun terbuka opsi untuk berdialog.
Kemungkinan lain yang bisa dilakukan Taliban adalah melobi negara-negara Muslim atau negara berseteru dengan AS yakni China dan Rusia. Pengakuan negara asing dibutuhkan sebagai sebuah legitimasi pemerintahan. '
Keempat tantangan ini yang harus diselesaikan oleh Taliban ke depan. Dan semuanya, bisa jadi jauh lebih berat dari sekadar merebut ibu kota Kabul dan menguasai Istana Kepresidenan. Karena segala persoalan tidak bisa selalu diselesaikan dengan mengangkat senjata. Butuh dialog dan kebesaran hati untuk membangun sebuah negara.