Ahad 12 Sep 2021 14:30 WIB

Saipul Jamil Hingga Pelecehan: Reputasi KPI Dipertaruhkan

Reputasi KPI Sedang dipertaruhkan

Seorang ibu menonton acara televisi di dalam rumahnya yang terendam banjir di Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (14/1/2021). Akibat intensitas hujan yang tinggi, luapan air Sungai Citanduy dan Cikidang meluas hingga merendam 400 rumah warga di Dusun Bojongsoban dan Hegarsari dengan ketinggian mencapai sekitar 80 sentimeter hingga 1,5 meter.
Foto: Antara/Adeng Bustami
Seorang ibu menonton acara televisi di dalam rumahnya yang terendam banjir di Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (14/1/2021). Akibat intensitas hujan yang tinggi, luapan air Sungai Citanduy dan Cikidang meluas hingga merendam 400 rumah warga di Dusun Bojongsoban dan Hegarsari dengan ketinggian mencapai sekitar 80 sentimeter hingga 1,5 meter.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Reputasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dipertaruhkan. Sejumlah persoalan yang menerpa lembaga independen negara itu berdampak memengaruhi pandangan publik. Alih-alih eksistensinya diharapkan memberikan dampak signifikan, namun justru acap kali kontroversial. Kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan (bullying) yang melibatkan pegawai di lingkungan instansi tersebut menambah daftar panjang citra buram KPI. 

Lembaga terhormat yang diberikan mandat konstitusi mengawasi dan memberikan sanksi terhadap tayangan menyimpang termasuk melarang muatan kekerasan. Bagaimana bisa justru diterpa persoalan bertindak tidak mencerminkan yang diaturnya. Sebelum viral seperti saat ini, kasus ini belum mendapat perhatian khusus di internal KPI. Kasus ini memancing perdebatan publik untuk mendalami masalah yang sebenarnya antara terduga pelaku dan korban perundungan. 

Di satu sisi, tantangan penyiaran yang semakin kompleks mendorong peran dan fungsi KPI perlu lebih kuat. Di sisi lain, melalui kasus ini semakin membuka mata publik bahwa KPI sedang tidak baik-baik saja dan layak dievaluasi. Setidaknya ada tiga hal yang patut ditinjau kembali, mulai dari sistem organisasi; kualitas SDM; hingga kewenangan dan payung regulasi. KPI saatnya berbenah dengan membangun tata kelola kelembagaan yang baik dan perlu lebih peka terhadap kondisi di internal. 

 

Evaluasi KPI

KPI tengah mendapat sorotan banyak pihak. Pasca sebelumnya memancing reaksi keras publik terkait wacana pengaturan layanan Over-the-Top (OTT). Kini disangkutkan dengan sejumlah isu yang viral, seperti kembalinya Saipul Jamil ke layar kaca dan dugaan pelecehan seksual di lingkungan kerjanya. Ini ujian bagi KPI. Bukan hanya melihat keputusan-keputusan yang diambil, lebih dari itu memotret secara keseluruhan kinerja KPI yang belum optimal. 

Lebih lanjut, berkaitan dengan pernyataan KPI melakukan pengawasan platform internet telah dibantah oleh anggota komisioner KPI yang lain. Pernyataan itu dianggap belum mewakili institusional, melainkan hanya personal. Artinya komunikasi organisasi di tataran internal komisioner bermasalah. 

Selain itu, sikap KPI terhadap tayangan Spongebob Squarepants sampai Shizuka di kartun Doraemon menuai polemik. Publik menilai ada inkonsistensi sikap KPI terhadap tayangan-tayangan yang lebih bermasalah justru luput dari sanksi KPI. Kini KPI semakin diperbincangkan publik. Diperbincangkan bukan dalam arti yang positif karena capaian prestasinya, namun justru sebaliknya. 

Dugaan pelecehan seksual dan perundungan kali ini bukan sebagai tayangan yang diawasi, tetapi justru diduga melibatkan pegawai KPI sendiri. Jika mengikuti kronologis peristiwa ini dari narasi pelapor yang menyebutkan sudah terjadi sejak 2011/2012 dan terjadi secara berulang. Sementara dari persoalan yang menahun tersebut pihak KPI belum bersikap untuk memberi solusi. Artinya mekanisme sistem di internal bermasalah, sehingga terkesan masalah seolah “harus viral dulu” baru bertindak. 

Terlepas persoalan dugaan pelecehan seksual dan perundungan telah masuk di kepolisian. Namun momen ini menjadi pertaruhan bagi KPI. Jika KPI tidak mampu keluar dari krisis ini, bukan tidak mungkin publik semakin resisten. Padahal, notabene keberadaan KPI sebagai representasi publik untuk mengawal sistem penyiaran yang sehat. 

Pemapanan Kelembagaan

Eksistensi KPI diperlukan mengelola sistem penyiaran sebagai instrumen publik. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi alas hukum keberadaan independent regulatory body tersebut. Setidaknya sejak berdiri sampai saat ini, KPI pusat sudah enam kali melakukan pergantian pimpinan atau ketua. Mulai dari Victor Menayang (2003-2007); Sasa Djuarsa Sendjaja (2007-2010); Dadang Rahmat Hidayat (2010-2013); Judhariksawan (2013-2016); Yuliandre Darwis (2016-2019); dan Agung Suprio (2019-2022). 

Mekanisme pemilihan komisioner KPI dilakukan oleh DPR. Keputusan KPI bersifat kolektif kolegial yang terdiri dari sembilan komisioner. Dalam mengemban tugasnya, KPI dibagi menjadi tiga bidang meliputi: kelembagaan, struktur dan pengawasan isi siaran. 

Upaya memapankan kelembagaan menjadi pekerjaan rumah tersendiri di sisa kepemimpinan KPI periode 2019-2022. Belum lagi dinamika keorganisasian dan konflik kepentingan juga tidak menutup kemungkinan menjadi tantangan terbesar. Dalam perspektif komunikasi organisasi, upaya memapankan kelembagaan bukan hanya bicara terkait struktur. Merujuk pandangan Elton Mayo dalam komunikasi organisasi juga melibatkan pentingnya aspek psikologis maupun sosial. Artinya setiap anggota atau komponen dalam institusi tidak saling berjarak baik relasi dengan atasan (vertikal) maupun sesama rekan kerja (horisontal). 

Mengembalikan Kepercayaan Publik

Upaya mengembalikan kepercayaan publik mutlak dilakukan KPI. Sempat beredar tagar #BubarkanKPI yang tersebar di berbagai media sosial. Menanggapi hal tersebut harusnya KPI bisa lebih responsif. Kritik-kritik yang dialamatkan ke KPI dapat menjadi masukan konstruktif sekaligus dapat merombak tata kelola kelembagaan serta perbaikan kinerja. 

Pertama, prioritas utama KPI menghadapi persoalan dugaan pelecehan seksual dan perundungan di lingkungan kerjanya dengan menjadi problem solving process facilitator. Dalam konteks ini terduga pelaku dan korban berasal dari instansi yang sama mengarahkan KPI perlu terlibat aktif. KPI perlu mengawal sampai kasus tersebut mendapatkan penyelesaian hukum secara berkeadilan.

Kedua, secara kelembagaan KPI dapat memperbaiki komunikasi organisasi di tataran internal dengan mengembangkan participative management system. Kepemimpinan KPI bersifat kolektif kolegial, sehingga setiap keputusan yang disampaikan ke publik harus dikoordinasikan di lintas komisioner. Selain juga penting membangun sistem komunikasi dua arah antara organisasi dengan publik. 

Ketiga, untuk mengembalikan kepercayaan publik secara menyeluruh perlu mendorong kerja-kerja yang lebih substansial terkait tugas dan kewenangan penyiaran. KPI harus fokus dan konsisten dalam menyelamatkan frekuensi publik. Tentu fokus pada tugas makro sistem penyiaran, tidak melupakan self-control dalam membangun kapasitas SDM yang memadai dan penuh integritas. Masa depan KPI adalah masa depan penyiaran Indonesia.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement