REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah 73 tahun sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur yang terjadi pada tahun 1948. Tiga tahun setelah merdeka, rakyat Indonesia harus menghadapi segelintir cobaan termasuk ini salah satunya. Sampai sekarang, peristiwa itu masih membekas dan menjadi kenangan pahit.
Sejarawan Universitas Surabaya (Unesa) Prof Aminuddin Kasdi mengatakan ini bermula dari buntut perundingan Renville pada 8 Desember hingga 17 Januari 1948. Akibat perjanjian itu, wilayah Indonesia semakin kecil karena Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
“Daerah-daerah kantong yang dikuasai oleh Belanda juga harus ditinggalkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sehingga terjadi tentara hijrah termasuk Siliwangi dari Jawa Barat ke Yogyakarta,” kata Prof Aminuddin kepada Republika.co.id, Senin (27/9).
Bersamaan dengan itu, datanglah Muso, tokoh komunis Indonesia dari Moskow, Rusia. Bersama dengan Suripno, mahasiswa Indonesia berhaluan kiri dan Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR mempersatukan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sumarsono dari TNI yang dulu berdomisili di Surabaya, dan Persatuan Perjuangan yang dulu bergabung dengan Tan Malaka.
Setelah itu mereka mulai bergerak untuk mendirikan Negara Republik Soviet Indonesia dengan menyerang masyarakat. Rakyat Indonesia melawan teror PKI, terutama Bung Hatta karena dia merupakan seorang nasionalis. Saat terjadi pemberontakan di Madiun, pihak Belanda sempat menawarkan kepada kabinet Hatta untuk ikut menumpasnya, tetapi Hatta menolak.
Pergerakan FDR tidak hanya ada di Madiun, tapi juga di Takeran, Madiun. Mereka tidak hanya menargetkan tokoh pemerintahan setempat tapi juga pesantren dan ulama. Salah satu saksi pilu ini adalah Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM).
Baca juga : Kiri-Kiri Dalam-Kiri Luar: Terminologi Politik Orla
“Waktu di Madiun, KH Yusuf Hasyim pernah bermusyawarah di PSM. Di sana sudah ada pasukan-pasukan dan ada firasat tidak enak sehingga dia keluar dari sana ada keperluan. Setelah ia kembali lagi, ternyata para kiai di sana sudah tidak ada lagi, termasuk Kiai Imam Mursyid,” ujar dia.
Aminuddin menyebut selain PSM, pesantren lain juga diserang, misalnya pesantren di Tempurejo dan Ponorogo. Serangan itu menyebabkan ratusan orang menjadi korban mengenaskan.
Di sumur pembantaian FDR, ada 108 jenazah yang ditemukan di Soco, Magetan. Dalam rumah di Gorang Gareng ditemukan genangan darah bekas penyembelihan orang-orang Islam setinggi mata kaki. Kerangka korban yang dapat diverifikasi 60 orang dan 48 orang tidak dikenali. Salah satu dari korban itu termasuk Kiai Mursyid.
Seharusnya, dalang di balik peristiwa itu dapat ditumpas. Sayangnya mereka belum sempat diadili karena setelah itu terjadi Aksi Polisionil atau Agresi Militer Belanda Kedua pada 19 Desember 1948. Pemberontak-pemberontak seperti Aidit tidak diadili. Namun, Amir Syarifuddin dan Joko Suyono harus menerima hukuman mati beserta delapan hingga sepuluh orang lainnya.