Sabtu 02 Oct 2021 04:26 WIB

Diplomasi Vs Invasi, Pelajaran Berharga AS di Afghanistan

Invasi tidak menjamin kesuksesan, tetapi dipastikan membuat kerugian bagi warga sipil

Pesawat AS di Afghanistan
Foto: VOA
Pesawat AS di Afghanistan

Oleh : Nuraini, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah 20 tahun berperang di Afghanistan, Amerika Serikat mengakui gagal mewujudkan keinginan mereka. Taliban yang dianggap AS terkait dengan al-Qaeda, kelompok yang diperangi di Afghanistan, justru kembali berkuasa.

Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark Milley mengakui AS salah berhitung terkait jatuhnya pemerintahan dan militer Afghanistan secara cepat. Taliban menguasai Afghanistan setelah merebut Kabul pada 15 Agustus 2021, dua pekan sebelum AS menarik seluruh pasukannya dari negara itu. Milley mengakui penilaian intelijen memprediksi jatuhnya pemerintahan setelah AS mundur dari Afghanistan, tetapi waktunya bisa berbulan-bulan, bukan dalam hitungan hari.

Penarikan pasukan AS dan proses evakuasi di Afghanistan juga mengalami kegagalan. Milley menyebut penarikan pasukan AS dari Afghanistan sebagai kegagalan strategis. Tentara Afghanistan yang dilatih AS tidak melawan Taliban. Mereka menyerah dengan mudah dan memberi jalan kepada Taliban menguasai Afghanistan. Dia khawatir Afghanistan akan jatuh ke perang saudara dengan kembalinya Taliban berkuasa. Kondisi itu membuat pemerintahan Joe Biden menghadapi tuduhan salah membaca situasi di Afghanistan dan gagal memprediksi seberapa cepat Taliban akan bangkit.

Kegagalan AS di Afghanistan menimbulkan pertanyaan seberapa efektif invasi ke negara lain bisa mendukung perdamaian atau justru diplomasi yang bisa diupayakan? Bagi mayoritas warga AS, diplomasi seharusnya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah mereka dibandingkan invasi. Itu merupakan hasil survei Eurasia Group Foundation yang dilakukan pada 27 Agustus-1 September. Berdasarkan survei itu, 58,3 persen warga menyatakan AS harus lebih banyak terlibat negosiasi mengenai isu-isu seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan migrasi.

Sementara, 42,3 persen responden percaya AS harus memangkas jumlah pasukan di Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Selain itu, AS harus mengurangi komitmennya untuk membela negara-negara di Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Menurut kelompok itu, jumlah warga AS yang percaya kebijakan luar negeri harus lebih peduli tentang membangun demokrasi di dalam negeri daripada di luar negeri, meningkat secara substansial selama dua tahun terakhir.

Di luar Afghanistan, AS lebih mengupayakan diplomasi di isu kesepakatan nuklir Iran dan denuklirisasi Korea Utara. Upaya diplomasi dilakukan AS setelah Donald Trump menarik keterlibatan negaranya dari kesepakatan nuklir Iran yang sebelumnya disepakati bersama negara-negara sekutunya. Dialog dengan Iran masih alot, tetapi invasi ke Iran setidaknya belum menjadi pilihan di atas meja bagi AS. Sanksi ekonomi menjadi pilihan AS untuk Iran dibandingkan invasi.

Begitu pula dengan pelucutan senjata nuklir Korea Utara. Upaya diplomasi AS terhadap Korea Utara sempat menguat saat era pemerintahan Donald Trump. Untuk pertama kalinya, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un mau bertemu dengan Presiden AS, Donald Trump membahas pelucutan nuklir. Dialog antara AS dan Korut juga masih alot hingga kini. Namun, invasi tidak juga menjadi pilihan AS untuk Korut. Sanksi tetap diberlakukan AS untuk menekan Korut kembali ke meja perundingan.

Invasi AS yang gagal di Afghanistan sebenarnya bisa jadi pelajaran bagi negara lain. Arab Saudi hingga kini masih memimpin pasukan koalisi untuk berperang di Yaman. Begitu pula tentara Turki yang belum ditarik dari Suriah. Negara-negara yang menginvasi negara lain semestinya belajar bahwa upaya mahal itu juga gagal untuk mencapai tujuan meski dilakukan dalam jangka waktu puluhan tahun. Kerugian yang ditanggung invasi tentu lebih besar dibandingkan upaya diplomasi. Kerugian paling besar harus ditanggung warga sipil negara yang diinvasi. Perhitungan itu yang kerap luput dipikirkan saat mengambil kebijakan invasi dibandingkan diplomasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement