Oleh : Atih Rohaeti Dariah, Guru Besar Ekonomi Pembangunan Unisba
REPUBLIKA.CO.ID -- Kemunculan SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diluncurkan secara formal oleh PBB pada bulan Januari 2016, menawarkan daya tarik bagi negara negara anggota PBB.
Tidak sekadar adanya acuan arah pembangunan jangka panjang yang mencakup 17 tujuan dan 169 target, namun sekaligus sebuah tantangan yang bisa dijadikan akses dan peluang meningkatkan level pembangunan yang berbuah rekognisi dan prestise.
Dalam perjalanannya tujuan dan target yang ambisius ini, mendapat tantangan di tengah pandemi covid-19 dan pasca pandemi. Ketika orientasi pembangunan seketika harus bergeser pada penangangan covid, penguatan sistem kesehatan dan pemulihan ekonomi, bagaimanakah sketsa upaya ke depannya untuk mencapai SDGs khususnya di Indonesia?
Semangat SDGs adalah upaya integrasi dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup sebagai perwujudan atau operasionalisasi dari konsep Pembangunan Berkelanjutan. Namun dalam praktiknya mewujudkan integrasi tidak mudah.
Secara filosofis keberlanjutan membutuhkan perubahan mendasar dalam ideologi, transformasi budaya, sikap dan perilaku, perubahan paradigma, reformasi kelembagaan yang didukung oleh struktur politik dan kelembagaan (Hajer dalam Roberts dan Chan, 1997; Redclift dalam Briassoulis, 2001; Counsell, 1999; Holden, 2008; Hafsa dan Astrom, 2011; PBB, 2015). Spektrum inilah yang mendorong munculnya pandangan pembangunan berkelanjutan dalam konteks nilai-nilai budaya, agama dan modal spiritual (Zohar dan Marshall, 2004; Marsuki, 2009; Becceheheti dan Borzaga, 2010, Narayanan, 2013).
Mereka percaya bahwa nilai-nilai ini diperlukan untuk masyarakat yang berkelanjutan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, karena berdasarkan nilai-nilai tersebut memiliki potensi untuk aktivisme ekologi, sosial dan politik atau praktik individu dan masyarakat dan kapasitasnya untuk memungkinkan pengembangan diri.
Pemikiran ilmuwan muslim lainnya menampilkan pembangunan spiritual sebagai inti bagi pembangunan berkelanjutan, elaborasi nilai-nilai Islam dengan menampilkan fitur-fitur penting pembangunan berkelanjutan baik secara eksplisit untuk setiap dimensi maupun secara implisit pada kondisi yang harus terpenuhi yaitu keadilan, kebaikan (ihsan), kasih modal sosial (arham) dan pembatasan kerusakan/keburukan (Abdul Hasib Ansari et. Al, 2012, Abdulrachman, 2011; Al-Jayyousi, 2012).
Seluruh pemikiran filosofis untuk mewujudkan integrasi sudah cukup memadai. Hanya saja ketika nilai-nilai ini ditransfer ke dalam aktivitas nyata, seperti apa bentuk integrasi tersebut dalam praktiknya? Secara pragmatis, upaya integrasi ketiga dimensi membutuhkan konsep dasar seperti berfikir sistem dengan alat bantu model kualitatif dan kuantitatatif diantaranya model Input Output (PBB, 2015).
Dalam kerangka SDGs, integrasi nampak dari ketergantungan antar target (Weitz et al, 2014), dan target mana yang memiliki daya ungkit, Blanc (2015) menunjukkan bahwa dua dari tujuan yang diusulkan, tujuan- 12 tentang konsumsi dan produksi berkelanjutan dan tujuan-10 tentang ketidaksetaraan, menyediakan koneksi penting di antara tujuan lainnya.
Berbicara upaya mencapai SDGs, melalui konsep berfikir dan pendekatan serta metode yang digunakan adalah bagian dari proses perencanaan. Agenda SDGs sebagai agenda pembangunan yang bersifat top-down dari PBB sudah menginspirasi para perencana. Pengalaman Indonesia, Malasyia dan Brunei dalam mengadop SDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasionalnya, belum nampak strategi yang menunjukan upaya integrasi ketiga dimensi.
Strategi bersifat parsial sesuai tujuan dan target masing masing sebagaimana amanat PBB, dengan pendekatan backcasting yakni kerangka pemecahan masalah yang menguraikankan bagaimana pembangunan dengan tindakan menengah berdasarkan target kuantitatif jangka panjang.
Penelitian di tingkat lokal menemukan contoh best practice di Desa Cibeureum Wetan, Jawa Barat, Indonesia dan Kampung Lintang, Sik, Kedah, Malaysia. Keduanya telah menjalankan budidaya tanaman pangan organik, bahkan Kelompok Tani bernama Simpay Tampomas di Desa Cibeureum Wetan menjalankan sistem pertanian terintegrasi dengan ternak di atas lahan kritis bekas penambangan pasir di kaki Gn. Tampomas.
Petani di Kampung Lintang yang tergabung dalam Koperasi SRI-Lovely melakukan penanaman padi berdasarkan Al-Qur'an. Mereka menghidupkan tanah yang mati, melalukan rehabilitasi, mengolah, menanami dengan cara-cara ramah lingkungan. Mereka percaya serangga tidak akan membahayakan pertanian padi ketika tidak menggunakan insektisida karena serangga pun berdzikir kepada Allah Swt. Koperasi memfasilitasi penanaman sayuran organik yang Halalan Thoyyiban untuk kebutuhan pangan anggota keluarga koperasi yang dibagikan secara gratis. Mereka pun mengikuti prinsip Nabi Yusuf (saw) menyimpan benih dengan tangkai selama tujuh tahun.
Melalui pembentukan kelompok tani di Desa Cibeureum Wetan dan koperasi di Kampung Lintang, pengelolaan kegiatan ekonomi dilakukan secara bersama-sama. Anggota masyarakat memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi, peningkatan pengetahuan, kesempatan kerja, dan pembiayaan yang pada gilirannya memiliki akses terhadap peningkatan pendapatan mengingat komoditas yang dihasilkan memiliki harga jual tinggi.
Dalam dua kasus inisiatif pembangunan berkelanjutan lokal akar rumput tersebut, ditemukan lima prinsip yang dijalankan diantara mereka. Lima prinsip itu adalah niat, khalifah, kepemimpinan, keadilan, dan musyawarah mufakat. Kelima prinsip tersebut menempatkan diri sebagai hamba Allah bahwa upaya mencapai pembangunan berkelanjutan bagian dari ibadah, menjalankan fungsi khalifah dalam mengelola bumi dengan baik dibawah kepemimpinan yang memiliki sifat kenabian: 1. Siddiq (Integritas); 2. Amanah (Terpercaya); 3. Fathonah (Kecerdasan); dan 4. Tabligh (Komunikatif).
Nilai-nilai Islam yang melekat dalam mengelola pertanian organik dapat menjadi inspirasi dalam menghadapi tantangan pemulihan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan pasca pandemi covid-19. Dampak covid-19, ekonomi nasional terkontraksi -2,07%, pengangguran meningkat menjadi 7,07%, tingkat kemiskinan mengalami kenaikan menjadi 6,09%, ketimpangan pendapatan yang tercermin dalam Gini Ratio, meningkat menjadi 0,385.
Menggembirakan kondisi lingkungan hidup yang terekam dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup meningkat menjadi 70,27 dari angka 66,55 pada tahun 2019. Meningkatnya IKLH tahun 2020 dikarenakan adanya perbaikan pada Indeks Kualitas Udara (IKU), dan Indeks Kualitas Air (IKA). Pembatasan mobilitas dalam mencegah penularan covid-19 di satu sisi berdampak pada melemahnya pembangunan ekonomi namun di sisi lain berdampak positif terhadap kualitas lingkungan hidup.
Dalam fase pemulihan ekonomi dan kerangka 17 tujuan SDGs, tujuan 8) meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua, seyogianya menjadi focus. Sektor Informasi dan Komunikasi, Sektor Jasa Perusahaan adalah sector-sektor ekonomi yang berpotensi besar untuk mencapai keberlanjutan di Indonesia.
Namun kedua sektor ini sifatnya penunjang peningkatan produktivitas yang lebih tinggi di sektor riil. Sektor-sektor dominan di Indonesia yang menjadi penggerak utama perekonomian dalam menghasilkan berbagai produk kebutuhan penduduk adalah sektor pertanian dan industri pengolahan.
Inspirasi pertama, dalam mengelola kedua sektor dominan ini, harus diawali dengan niat dan komitmen peduli lingkungan hidup. Ketika perlindungan lingkungan hidup dikedepankan, terciptalah kegiatan ekonomi (kasus budidaya organik) yang bernilai tambah tinggi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup. Disaat ekonomi tersebut dikelola bersama-sama secara berkelompok melibatkan masyarakat lokal, telah menjadi proses yang berpeluang merespon masalah pengangguran dan kemiskinan, serta membudayakan musyawarah mufakat.
Untuk kegiatan industri pengolahan, didorong perpaduan penciptaan nilai tambah dan peduli lingkungan melalui eco inovasi secara mandiri dan sesuai dengan problem teknisnya. Hasil penelitian terhadap pengusaha di Indonesia dan Brunei, kepedulian dalam praktik lingkungan dan inovasi berpengaruh kuat terhadap keberlanjutan.
Inspirasi kedua, internalisasi keadilan dapat ditempuh melalui skema bagi hasil diantara pemilik modal, pengelola dan pekerja. Bagi hasil memberikan tambahan nilai bagi tenaga kerja berupa tambahan pendapatan terhadap upah yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Pendekatan matematis dalam proses maksimisasi keuntungan dengan internalisasi tingkat bagi hasil tersebut, telah menghasilkan rumusan proposisi yang intinya menunjukan bahwa distribusi pendapatan yang adil diantara ketiga pihak tersebut ditentukan oleh proporsi bagi hasil, standing moral pemilik modal dalam hal kesediaan berbagi, dan produktivitas tenaga kerja.
Inspirasi ketiga, pengelolaan pembangunan berkelanjutan bertumpu pada manusia yang seyogyanya cenderung berperilaku baik (ihsan) dengan segala kesadaran dan keimanannya sebagai hamba Allah dalam menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, untuk mencapai ridho Allah Swt, terutama dalam menjaga lingkungan hidup dan kesediaan berbagi kekayaan.
Inspirasi keempat, untuk menjamin keberlanjutan pun perlu secara kontinyu meningkatkan investasi modal manusia menuju tenaga kerja yang berakhlak mulia, kompeten, produktif, dan memiliki kemampuan berinovasi. Terakhir, inspirasi kelima, perpaduan untuk mengkondisikan ihsan dan produktif tentunya perlu pelembagaan dibawah kepemimpinan yang memiliki sifat kenabian.