Oleh : Raihan Ariatama, Ketua Umum PB HMI Periode 2021-2023
REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah tantangan Bonus Demografi, Visi Indonesia Emas 2045, dan disrupsi akibat penetrasi teknologi, apa peran dan kontribusi organisasi kepemudaan untuk menyongsong masa depan negara dan dunia yang terus berubah?
Apakah organisasi kepemudaan Indonesia hari ini sekadar menjadi echo chamber yang sibuk dengan urusan internal sehingga abai terhadap ‘dunia luar’ yang berubah sangat cepat, jika hal ini terjadi, bagaimana organisasi kepemudaan memulai perubahan?
Visi Indonesia Emas 2045 ditopang oleh empat pilar, yaitu: pembangunan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Demi mewujudkan kempat pilar tersebut, melibatkan generasi muda –baik yang terhimpun dalam organisasi kepemudaan, komunitas sosial, organisasi keagamaan, partai politik, birokrasi maupun yang bergerak dengan inisiatif individual— adalah sebuah keharusan karena generasi muda akan mengisi kepemimpinan nasional di masa depan.
Jalan untuk mewujudkan keempat pilar Visi Indonesia Emas 2045 tersebut terbuka lebar dengan, salah satunya, kondisi Indonesia yang saat ini, dan dalam beberapa tahun ke depan, sedang menikmati bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk usia yang tidak produktif, dan generasi muda adalah bagian dari penduduk usia produktif tersebut.
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 2030-2040, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia diprediksi akan mencapai 64 persen dari total populasi, atau sekitar 297 juta orang.
Kondisi yang sangat menguntungkan ini harus disambut dan dijemput oleh organisasi kepemudaan agar bonus demografi tidak sekadar angka-angka kuantitatif, melainkan juga kualitas sumber daya manusia unggul yang berdaya saing global. Karena, bagaimana pun juga, organisasi kepemudaan merupakan kawah inkubasi di mana generasi muda menghimpun diri dan mengasah skill.
Tantangan selanjutnya adalah disrupsi di segala sektor kehidupan akibat penetrasi teknologi. Penetrasi teknologi telah menembus sekat-sekat kehidupan; mengaburkan batas antara yang-publik dan yang-private dan melampaui batas-batas teritorial negara.
Ian Bremmer dalam artikelnya berjudul The Technopolar Moment: How Digital Powers Will Reshape the Global Order di Foreign Affairs, Edisi November/Desember 2021 menyatakan bahwa perusahaan teknologi raksasa, Big Tech, seperti Apple, Facebook, Amazon, Alibaba, Microsoft dan lain sebagainya, tidak hanya menghimpun perilaku manusia di ruang digital, melainkan juga membentuk perilaku manusia di dunia nyata.
Dalam beberapa kasus, perusahaan teknologi bahkan lebih berpengaruh daripada peran pemerintah karena setidaknya dua hal: pertama, perusahaan teknologi menguasai ruang digital di mana pemerintah sulit menjangkau dan mengontrolnya; kedua, perusahaan teknologi memiliki kuasa dan pengaruh untuk menjembatani ruang digital dan dunia nyata.