Selasa 18 Jan 2022 14:13 WIB

Translokasi Harimau Jaga Keseimbangan Ekosistem

Pada kasus mitigasi konflik satwa liar, translokasi pertimbangan pilihan terakhir.

Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Heka Hertanto, Ketua Umum Artha Graha Peduli

Pada awal tahun 2011, untuk pertama kali dilakukan translokasi harimau yang terlibat konflik di Nepal. Di Bangladesh, pada Februari 2011 dilaksanakan translokasi pertama seekor harimau betina yang tertangkap karena memasuki pemukiman. Translokasi harimau untuk kepentingan program reintroduksi telah berhasil pada harimau bengal di India.

Pada tahun 2004, Suaka Margasatwa Sariska di India kehilangan populasi harimau karena perburuan liar besar-besaran pada tahun sebelumnya. India memutuskan mereintroduksi harimau bengal dengan mentranslokasikan sepasang harimau dari Suaka Margasatwa Ranthambhore pada tahun 2008. Kedua harimau betina dan jantan dilepasliarkan setelah 8 hari dikaratina.

    

Kedua harimau itu menentukan daerah jelajah masing-masing, serta dapat berburu mangsa di habitatnya baru. Sampai akhir tahun 2010 tercatat tujuh harimau ditranslokasikan ke Suaka Margasatwa Sariska. Harimau jantan dewasa yang pertama kali dilepasliarkan pada tahun 2008 ditemukan mati diracun oleh warga pada November 2010.

    

Di Indonesia, translokasi harimau sumatera seluruhnya dilakukan dalam rangka untuk mengatasi atau mengurangi konflik. Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 yang disusun Departemen Kehutanan RI dan sejumlah lembaga yang peduli kelestarian harimau sumatera disebutkan satwa itu merupakan salah satu satwa langka  yang hanya hidup di Sumatera.

photo
Seekor Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) betina berumur 13 tahun, Uni berjalan di dalam kandang Kebun Binatang Taman Rimbo, Jambi, Senin (28/1/2019). - (Antara/Wahdi Septiawan)

    

Jenis satwa yang menempati puncak piramida dalam ekosistem hutan Sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh pemerintah Indonesia, dan dikategorikan oleh IUCN (lembaga konservasi internasional) sebagai satwa yang mendekati kepunahan. CITES (Konvensi tentang perdagangan satwa dan tumbuhan terancam punah) telah melarang perdagangan dan perburuan satwa tersebut.

Upaya untuk menyelamatkan harimau sumatera terus-menerus dilakukan sejak lama oleh Indonesia dan berbagai pihak yang peduli terhadap pelestarian satwa ini baik dari dalam maupun luar negeri. Upaya tersebut sering terintegrasi dengan derap pembangunan ekonomi di Sumatera. Sejauh ini hasilnya masih kurang menggembirakan.

    

Saat ini populasi harimau sumatera di alam liar semakin menurun yang tersebar di beberapa kawasan hutan yang terfragmentasi karena berbagai sebab terutama penebangan dan konversi hutan. Harimau sumatera merupakan salah satu warisan kekayaan alam Indonesia yang masih tersisa.

    

Dua jenis harimau yang pernah hidup di Indonesia yaitu harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) telah punah dari Indonesia. Dua harimau itu dinyatakan punah, masing-masing pada tahun 1937-an dan 1980-an.

    

Saat ini hanya sub-spesies harimau sumatera yang tersisa dan itu pun hidupnya terfragmentasi satu dengan lain. Sejak tahun 1996, harimau sumatera dikategorikan sebagai sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh IUCN di divisi Cat Specialist Group 2002.

Pada tahun 1992, populasi harimau sumatera diperkirakan 400-500 ekor di lima taman nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak, dan Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang), dengan sekitar 100 ekor lain berada di luar ketujuh kawasan konservasi tersebut (PHPA 1994). Jumlah tersebut diduga terus menurun (hasil Lokakarya Harimau dan Gajah 2007).

    

Jumlah minimal berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga adalah sekitar 250 harimau dewasa di delapan kawasan dari 18 kawasan yang perkirakan menjadi habitat harimau sumatera. Ancaman terbesar terhadap kelestarian harimau sumatera adalah aktivitas manusia, terutama konversi hutan untuk tujuan pembangunan seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur.

    

Selain mengakibatkan fragmentasi habitat, berbagai aktivitas menjadi penyebab konflik antara manusia dan harimau. Konflik itu kerap menuai korban di kedua pihak, bahkan sering berakhir dengan tersingkirnya harimau dari habitatnya.

    

Berdasarkan data perkiraan antar waktu, sebagaimana digambarkan di atas, populasi harimau sumatera cenderung menurun dari tahun ke tahun. Apabila tidak dilakukan intervensi pengelolaan yang tepat, satu-satunya sub spesies harimau yang tersisa di Indonesia akan punah. Sejauh ini, pemerintah telah bekerjasama dengan LSM nasional dan internasional dalam melakukan studi dan pengelolaan harimau sumatera.

    

Perlindungan hutan tidak bisa dilepaskan dari perlindungan satwa-satwa liar yang hidup di dalamnya. Tanpa harimau sumatera dipastikan kita tidak akan memiliki hutan lagi di Sumatera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement