REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nalar Al Khair, Peneliti pangan, Desa dan UMKM, Lembaga Riset Sigmaphi
Rumah tangga dan para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dihadapkan dengan tingginya harga pangan ketika memasuki Bulan Ramadhan tahun 2022. Tidak hanya harga minyak goreng yang kian mahal tetapi juga diikuti oleh komoditas pangan lainnya seperti gula pasir, kedelai dan daging ayam ras. Sehingga momentum peningkatan pertumbuhan ekonomi pada Q1 2022 mungkin tidak akan optimal.
Per 1 April 2022, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, kondisi rata-rata harga nasional kedelai impor lebih tinggi 104 persen dari harga acuan yang telah ditetapkan pemerintah atau Rp 13.900 per kg. Begitu pula dengan gula pasir yang lebih tinggi 18 persen atau sebesar Rp 14.700 per kg, beras medium 25 persen dari HET atau sebesar Rp 11.800 per kg, daging ayam ras 7 persen atau Rp 37.600 per kg, dan minyak goreng curah dengan harga yang fantastis Rp 20.000 per liter atau lebih tinggi 43 persen dengan HET Rp 14.000 per liter.
Memang pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan mengenai pengendalian harga seperti Permendag No 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan, Permendag No 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah dan Permenperin No 8 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah Untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, Dan Usaha Kecil Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKPS), akan tetapi aturan tersebut hanya di atas kertas dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Terkait pengadaan minyak goreng curah subsidi Rp 14.000 per liter hingga kini masih sulit ditemukan di pasar tradisional. Padahal dalam aturan pengadaan minyak goreng curah yang dikeluarkan pada 18 Maret tersebut, proses antara produsen, Kemenperin dan BPDPKS hingga disetujui memakan waktu paling lama delapan hari. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar di masyarakat, pemerintah yang belum bekerja optimal atau pengusaha besar yang lebih berkuasa untuk mengendalikan harga?
Problematika tingginya harga dan eksekusi kebijakan pemerintah yang tidak berjalan mencerminkan pemerintah gagal dalam melakukan intervensi pasar. Karl E.Case dan Ray C.Fair dalam bukunya Prinsip-prinsip Ekonomi (2007), mengemukakan terdapat insentif untuk menimbang biaya dan manfaat yang beroperasi secara efisien dari adanya sistem pasar. Salah satunya adalah pasar bebas.
Akan tetapi kondisi tersebut tidak selalu terjadi, sehingga kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan kegagalan pasar dan mengharuskan pemerintah untuk turut campur tangan. Salah satu bentuknya adalah penerbitan aturan serta melakukan pengawasan agar kegagalan pasar tidak terjadi.
Harga yang terus naik semakin mencekik masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Jika harga tak terkendali seperti ini, kredibilitas pemerintah akan dipertanyakan. Karena terlihat tidak mampu menyelesaikan permasalahan dasar yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah menunjukkan sikap tidak serius dengan melakukan pembiaran akan kondisi harga pangan yang terus meningkat.
Di satu sisi pemerintah selalu mengatakan ingin memajukan UMKM dan mengentaskan masyarakat miskin. Bahkan tahun 2024 menjadi target program ‘zero’ kemiskinan ekstrim. Tetapi kondisi tersebut sulit tercapai ketika harga pangan terus dibiarkan naik karena akan menggerus daya beli.