Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Tiga jabatan perwira tinggi Polri telah dikorbankan dalam pengusutan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah Kepala Divisi Propam Polri nonaktif, Irjen Ferdy Sambo. Jika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih dalam ritme yang sama, bukan tidak mungkin Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran juga akan dinonaktifkan. Sebuah langkah besar yang jarang sekali (jika pernah) dilakukan Korps Bayangkara dalam mengusut perkara yang melibatkan anggotanya.
Apa sebenarnya yang terjadi, masih terlalu dini untuk mengambil sebuah penilaian simpul. Namun, setiap keputusan Polri dalam kasus itu adalah angin yang meniup bara. Apinya akan berkobar bebas jika tidak diarahkan dengan benar.
Senin, 25 Juli 2022, kasus yang awalnya disebut sebagai aksi tembak-menembak antara Brigadir J dan Bharada E telah berkembang menjadi laporan pembunuhan berencana. Bahkan laporan keluarga J itu telah naik ke tingkat penyidikan. Artinya, polisi tinggal menentukan siapa tersangkanya.
Terpisah, Komnas HAM juga bergerak menggali keterangan atas temuan mereka, utamanya mengonfirmasi sejumlah luka ganjal di tubuh jenazah J. Bekas jeratan di leher, luka robek di bagian kepala, bibir, hidung, dan kaki serta jari-jari tangan yang telah hancur telah dikonfrontir kepada dokter RS Polri yang telah mengautopsi jenazah J.
Apa jawaban para dokter pendiam itu, Komnas HAM belum mengungkapkannya. Namun, Komnas HAM mengaku telah mengetahui kapan, dimana, dan bagaimana almarhum J meninggal. Saat ini, Komnas tengah bersiap memeriksa Bharada E dan ajudan Irjen Sambo yang lainnya.
Brigadir J tewas di rumah dinas Irjen Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022), dengan kondisi jenazah yang mengenaskan. Versi penyidik kepolisian mengatakan tewasnya J karena adu tembak dengan rekannya, Bharada E. Tidak tanggung, lima butir peluru menembus tubuh J.
Menurut polisi itu, penembakan bermula dari percobaan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap istri Ferdy Sambo. Namun, kelaurga J membantah semua pernyataan polisi tersebut. Mereka memilih menguji kebenaran dengan membuat laporan pembunuhan berencana.
Keluarga J ternyata membawa alas yang tidak biasa. Mereka menyertakan bukti tubuh J yang penuh luka mencurigakan, kronologi keberadaan J di hari kejadian, dan barang-barang J yang tak lagi utuh.
Buntutnya, Kapolri Sigit mencopot tiga perwira dari jabatannya. Irjen Sambo dinonaktifkan dari jabatannya selaku Kadiv Propam pada Senin (18/7/2022). Pada Rabu malam, giliran Kepala Biro Pengamanan Internal Div Propam Polri, Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi yang dinonaktifkan. Ketiganya terkait dengan kasus J.
Transparansi?
Banyak orang berpikir sedang ada huru hara perang bintang di tubuh Polri. Kelompok kecil mengudeta geng langgeng, atau sebaliknya. Ada juga yang menghayal Polri sedang benar-benar berbenah, mungkin bersih-bersih. Apa pun itu, semua anggapan adalah kobaran yang tak berarah. Betul-betul tidak Presisi. Yang pasti, Sigit mengaku pencopotan ketiganya demi transparansi pengungkapan kematian Brigadir J. Se-iya se-kata dengan permintaan keluarga J dan cerewetan netizen. Kecuali permintaan penonaktifan Irjen Fadil Imran karena dukungan yang disuarakannya terhadap Ferdy Sambo. Untuk diketahui, laporan Sambo terkait penodongan dan kekerasan terhadap istrinya oleh Brigadir J telah naik penyidikan di Polda Metro Jaya.
Penulis sendiri sanksi dengan kata transparansi itu, sebab syaratnya tertinggal. Pelucutan kewenangan ketiganya tidak disertai dengan perkembangan informasi yang rigit atas pengungkapan kasus kematian J, khususnya dari tim Bareskrim Polri. Sampai saat ini, Polri belum membeberkan apa sebenarnya yang terjadi terhadap J. Begitu juga dengan hasil investigasi Komnas HAM yang masih dirahasiakan.
Karena itu, pencopotan Sambo Cs bisa ditafsirkan macam-macam oleh khalayak, termasuk kebenaran laporan keluarga J. Bahwa tidak ada aksi tembak-menembak pada Jumat nahas itu. Bahwa kematian J telah disusun dengan rencana matang. J ditembak setelah mendapatkan siksaan. Setidaknya, itu yang diyakini keluarga J.
Bareskrim Polri dan Komnas HAM bahkan tampak mengarah pada kronologi dan dugaan versi keluarga Brigadir J itu. TKP ditelusuri ulang hingga ke Magelang, jenazah J akan diautopsi ulang, dan bukti awal atas laporan pembunuhan J telah terpenuhi. Komnas HAM bahkan harus mengonfrontir dokter RS Polri yang mengautopsi jenazah J. Apa pula yang ingin digali Komnas HAM pada para ajudan Irjen Sambo yang lainnya? Apa mereka terlibat? Bukankah hanya Brigadir J, Bharada E, dan istri Irjen Sambo yang ada di TKP, jika merujuk versi awal Polres Jakarta Selatan.
Permainan teka-teki itu pada akhirnya akan selesai juga. Polri dan Komnas HAM harus menjelaskan versinya masing-masing. Jika tensi keingintahuan publik masih tinggi, maka Polri kali ini harus bisa dipercaya, ilmiah, dan sesuai expert seperti kata humasnya. Sebab, ada sejumlah hal yang harus dipertaruhkan.
Jika akhirnya yang terbukti adalah pembunuhan berencana, maka para bintang itu tak akan hanya redup lagi. Tentunya, Polri harus membayar kekacauan itu dengan impas untuk mengobati luka publik yang merasa dipermainkan. Pengungkapan kasus itu juga akan menjadi preseden terhadap Polri. Katakanlah kasus pembunuhan laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek yang fenomenal itu. Sebelum kasus ini berakhir pun, sudah ada suara sumbang yang meminta Polri juga mengautopsi ulang para jenazah laskar itu. Untuk diketahui, dua polisi yang didakwa dalam kasus KM 50 divonis tanpa hukuman.
Bagaimana pun, penyelesaian kasus itu akan kembali juga pada pemimpin Polri. Jenderal Sigit akan menjadi kunci bagaimana menenangkan publik agar tidak berlarut dalam duga sangka, sekaligus mempertahankan citra Polri yang sebenarnya mulai membaik. Sigit telah mengagetkan kita semua dengan penonaktifan para petinggi Polri itu. Langkah awal yang berani itu seharusnya diakhiri dengan dobrakan selanjutnya. Semoga.