Oleh : Agus Rahardjo, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Suatu petang di perjalanan menuju Pati, Jawa Tengah, saya berkenalan dengan seorang perempuan di bus rute Semarang-Surabaya. Petang itu, obrolan dimulai ketika saya menanyakan berapa tarif naik bus dari Semarang ke Pati. Maklum, sudah lebih dari dua tahun saya tak lagi menggunakan transportasi umum, atau lebih tepatnya tak kemana-mana.
Terakhir saya ingat, jauh sebelum pandemi Covid-19, tarif bus ekonomi Semarang-Pati masih Rp 15 ribu. “Sekarang Rp 25 ribu,” jawab perempuan yang duduk di sebelah saya, malam itu. Oh, naik Rp 10 ribu, pikirku.
Pertanyaan saya memancing obrolan demi obrolan, sembari menunggu bus yang kami tumpangi berangkat. Wajar, bus masih menunggu penumpang alias ngetem. Kami berdua termasuk penumpang paling awal yang naik sejak bus ngetem di pertigaan Terminal Terboyo.
Selama obrolan, saya menjadi tahu, perempuan itu, sebut saja Diah, bekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Semarang. Ia asli Juwana. Memiliki satu anak, dan harus berjuang untuk bisa pulang pas gajian. Di Semarang, dia ngekos bersama sesama pekerja pabrik.
Dalam pembicaraan kami, Diah lebih banyak bercerita. Tentang pekerjaan, rindu anak di Juwana, gaji yang pas-pasan, hingga kondisi teman-temannya sesama pekerja pabrik. “Mas, tahu gak kasus mutilasi di Semarang, beberapa waktu lalu?” tanyanya ke saya.
Saya jawab, iya. Beberapa kali, saya memang mengedit tulisan kasus mutilasi yang diduga dilakukan residivis kasus pencabulan pada 2015 dengan korban Kholidatunn’imah (24 tahun). Pelaku berinisial IS (32) merupakan terpidana pencabulan Imah hingga divonis 10 tahun penjara. Usai menjalani masa hukuman enam tahun, IS bebas, kemudian kembali mencari Imah.
Diah mengaku, Kholidatunn’imah merupakan teman satu kos dari rekan kerjanya di pabrik. Kepada saya, perempuan yang membawa banyak tentengan di perjalanan ini bahkan mengaku sang rekan kerja sempat mendengar Kholidatunn’imah menangis dan berteriak di dalam kos.
Namun, teman-teman kos tidak berani mendekat, karena mengira tragedi hari itu sebagai pertengkaran keluarga. Ternyata, nasib menunjukkan kisah lain. “Setelah dicekik hingga meninggal, korban digulung karpet. Pelaku sempat pulang ke Kendal. Tapi di Kendal, dia terus kepikiran korban, lalu balik lagi, kemudian dimutilasi,” tutur Diah.
Saya yang lebih banyak jadi pendengar saat itu sempat bertanya ke perempuan anak satu ini. “Kenapa pelaku kembali mencari korban pencabulannya setelah keluar dari penjara?”
“Pelaku berniat mengajak nikah korban. Tapi korban sudah bersuami sekarang dan punya anak satu, suaminya kerja di luar negeri. Dia di Semarang kos sendirian. Sang anak dititipkan ke simbahnya,” ujar Diah.
Dari cerita Diah, saya dapati versi rekan-rekan korban, bahwa Kholidatunn’imah dan keluarganya saat kejadian pemerkosaan pada 2015 sudah meminta pertanggungjawaban dari IS. Namun, saat itu, IS menolak bertanggungjawab karena telah menghamili korban. Akhirnya, keluarga korban melaporkan IS ke kepolisian yang kemudian berujung pada vonis penjara 10 tahun.
Pada 2022, IS keluar penjara dan kembali mencari Kholidatunn’imah di kosannya, di Jalan Soekarno-Hatta, Kabupaten Semarang, pada 17 Juli 2022. Selanjutnya, seperti sudah banyak diberitakan, kasus pembunuhan sadis dengan korban dimutilasi menjadi 11 bagian menggegerkan warga Semarang, Jawa Tengah.
Tragedi ini, dugaan saya, dilatari asmara, pun sama seperti cerita perempuan yang saya temui di perjalanan Semarang-Pati. Dalam beberapa pekan terakhir, latar asmara muncul dalam sejumlah kasus pembunuhan dan upaya hingga pembunuhan sadis. Kita lihat kasus Kopda Muslimin yang tega menyewa orang untuk menembak istrinya sendiri di Semarang. Kopda Muslimin diduga memiliki kekasih lain.
Jika ditarik lebih ke belakang lagi, warga Semarang juga mungkin belum lupa dengan kasus penemuan mayat perempuan dan seorang balita di bawah jalan tol. Nyawa ibu dan anak tersebut melayang diduga ditangan pacar yang disebut sebagai seorang tenaga kesehatan.
Bahkan, di wilayah Demak, sempat digegerkan dengan pembunuhan remaja putri oleh kakak iparnya sendiri. Motifnya menurut polisi, pelaku menaruh hati pada adik dari istrinya. Bahkan, korban sempat diperkosa sebelum dibunuh dengan sadis dan mayatnya dibuang.
Serentetan kasus ini masih terjadi di wilayah Semarang dan sekitarnya. Di wilayah lain, bisa jadi kasus semacam ini juga terjadi. Apakah pidana penjara membuat terpidana jera, karena ternyata residivis pun terbukti kembali melakukan kejahatan dalam kasus mutilasi di Semarang. Hal ini sudah diingatkan Allah SWT dalam Surah Al Isra ayat 32 yang artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.
Dalam artikel berjudul Inilah Tujuh Hikmah Diharamkannya Zina, yang dimuat Republika.co.id edisi Ahad 17 Juni 2012, Ustaz Bachtiar Nasir menyampaikan, salah satu hikmah diharamkannya zina adalah ‘mencegah menyebarnya kejahatan, khususnya pembunuhan’. Artinya, sederet kisah tragis bermotif asmara yang terjadi belakangan ini menunjukkan kebenaran larangan Allah dalam Surah Al Isra ayat 32. Jangankan melakukan, Allah bahkan mengingatkan pada hambanya untuk tak mendekati zina.
Dimana posisi pemerintah? Tugas pemerintah adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Mereka, para korban, bukan hanya perempuan. Mereka calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus Indonesia. Sesuai pembukaan UUD 1945, membentuk negara Republik Indonesia yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga agama, apapun agamanya, bukan menjadi hal tabu dibicarakan pembuat kebijakan di negeri ini.
Masyarakat seharusnya juga lebih aware terhadap kondisi di sekitarnya. Apapun kondisinya, kekerasan tidak dibenarkan dalam hukum. Meskipun terjadi di lingkup keluarga sekalipun. Tidak ada lagi alasan ‘ini masalah keluarga saya, orang lain tidak usah ikut campur’ jika sudah terjadi kekerasan. Bahkan di agama manapun melarang kekerasan dalam sebuah rumah tangga, apalagi bukan keluarga.
Jangan sampai, korban merasa sendirian dan tak mendapatkan pertolongan. Kepedulian kita, bisa jadi menyelamatkan satu nyawa orang lain. Wallahu alam.