Kamis 01 Sep 2022 08:58 WIB

Ingat Kenaikan BBM Jelang Lengsernya Pak Harto: Presiden Jokowi, Awas Jebakan Ala IMF?

Kenaikan harga BBM punya sejarah kelam.

Sejumlah pengendara sepeda motor antre mengisi BBM di SPBU Kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (31/8/2022). Terpantau di sejumlah SPBU di Jakarta dipadati pengendara yang mengantre BBM akibat rencana pemerintah menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi per tanggal 1 September 2022. Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Sejumlah pengendara sepeda motor antre mengisi BBM di SPBU Kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (31/8/2022). Terpantau di sejumlah SPBU di Jakarta dipadati pengendara yang mengantre BBM akibat rencana pemerintah menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi per tanggal 1 September 2022. Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan.

Dunia sedang dilanda inflasi hebat. Indonesia relatif aman. Resep utama yang digunakan oleh negara-negara yang dilanda inflasi ini adalah menaikkan suku bunga. Sri Mulyani dan banyak ekonom juga sudah lama menyuarakan kenaikan suku bunga BI (Bank Indonesia) mengikuti jejak The Fed. 

Meski begitu, BI, alhamdulillah, menolak saran itu. Tentu BI punya pertimbangan dan perhitungan sendiri untuk tidak menaikkan suku bunga. Baru belakangan BI menaikkan suku bunga dan itu pun hanya 0,25%. 

Saya sendiri sejak awal berpendapat sebaiknya BI tidak menaikkan suku bunga dulu, jangan latah mengikuti The Fed. Mengapa? Karena inflasi kita masih lebih rendah dari pada inflasi di USA. Justru bila ada kenaikan suku bunga akan memicu inflasi, mengganggu (pertumbuhan) kredit, semakin menyulitkan dunia usaha dan bisa menimbulkan kredit macet. BI di takut takuti, bahwa bila suku bunga tidak dinaikkan akan begini begitu dan ternyata “ancaman” itu tidak terjadi.

Baca juga :Pengamat Anggap Kenaikan Harga BBM tidak Dapat Dihindarkan

Peristiwa kenaikan suku bunga ini telah mengingatkan saya pada saat Krismon 1997/1998. Saat itu, IMF menyarankan kenaikan suku bunga BI dan semua pejabat ekonomi pemerintah dan penasihat ekonomi pemerintah setuju, kecuali saya yang bersurat kepada Presiden Soeharto, tidak setuju. Saya kalah suara dan bunga BI dinaikkan gila-gilaan atas saran IMF, dan kurs rupiah tetap tidak terkendali. Itulah jebakan IMF saat itu, 1998.

Setelah berhasil menaikkan suku bunga, IMF pun langsung ke langkah berikutnya, yaitu menaikkan harga BBM. Kembali saya juga tidak setuju, tetapi kalah suara sehingga Presiden Soeharto menaikkan harga BBM yang kemudian kita tahu tak lama setelah itu Presiden Soeharto juga lengser.

Kembali ke tahun 2022. Setelah gagal menaikkan suku bunga, kini pemerintah menyuarakan kenaikan harga BBM sama seperti tahun 1998. Kali ini saya tidak tahu apakah atas saran IMF melalui tangan-tangannya di Indonesia atau bukan.

Pada pendapat saya, sungguh ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM di Indonesia. Karena ini kemungkinan besar akan memicu inflasi. Kenapa kita yang sebenarnya relatif sudah selamat dari gelombang inflasi dunia malah mau atau ingin menjadikan Indonesia ikut dibarisan inflasi dunia. Meski rakyat kecil sudah diberikan tambahan (bantalan) Bansos, rasanya tidak seimbang dengan imbas akibat inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM. Apalagi mereka yang tidak memperoleh Bansos, akan terimbas inflasi juga. General inflasi!

Baca juga : Mekanisme Fiskal Dinilai Bisa Kendalikan Subsidi BBM

Mungkin Presiden Jokowi, maaf, tidak mendapatkan gambaran yang sebenarnya dari menterinya, berapa subsidinya, apa akibatnya, dan seterusnya. Saat sekarang ini, lebih baik ditunda saja dulu kenaikan harga BBM dan nampaknya kita masih mampu. Jangan terjebak IMF dua kali. 

 

Jakarta, 1 September 2022

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement