REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Tuti Nusandari Roosdiono menegaskan pihaknya fokus mendalami secara intensif terkait permasalahan tenaga honorer termasuk status dan kesejahteraannya. Menurut dia, melihat pentingnya persoalan tenaga honorer, maka pimpinan DPR RI akan membentuk Panitia Khushus (Pansus) Tenaga Honorer untuk menemukan jalan keluar.
"Hal ini juga menjadi perhatian serius pimpinan DPR RI. Mengingat pentingnya persoalan tenaga honorer ini, maka pimpinan DPR RI akan membentuk pansus sehingga akan ditemukan jalan keluar sehingga mereka dapat direkrut menjadi tenaga kerja PPPK," ujar Tuti dikutip dari laman resmi DPR, Kamis (22/9/2022).
Tuti menyatakan, hak untuk bekerja dan mendapat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah hak mendasar bagi seluruh warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang harus diberikan oleh pemerintah. Maka, kehadiran pemerintah pusat dan daerah sangat diharapkan, terlebih setelah adanya ketentuan UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dan PP No.49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu menuturkan upaya penataan ASN yang dilakukan pemerintah saat ini tentu akan berdampak pada keberadaan tenaga honorer yang telah ada. Hal itu juga dia sebut akan menimbulkan persoalan, di mana dengan waktu singkat pemerintah pusat dan daerah melakukan proses perekrutan tenaga honorer untuk diangkat menjadi PPPK.
Sementara, di sisi lain diketahui cukup banyak nomenklatur jenis pegawai di instansi pemerintah selain PNS dan PPPK, seperti tenaga honorer, tenaga ahli, pegawai pemerintah non-pegawai negeri (PPNPN), pegawai kontrak, pegawai tidak tetap (PTT), tenaga pendamping, sukarelawan, dan sebagainya. Semua itu dengan tingkat pendidikan, keahlian, dan standar gaji yang berbeda-beda.
"Di samping itu, kita lihat banyaknya tenaga honorer dengan upah yang bersumber selain dari APBD, juga dari BLUD. Persoalan lain untuk dipertimbangkan dalam hal kecukupan atau kekuatan keuangan masing-masing instansi pemerintah untuk membiayai PPPK dan tenaga alih daya," kata dia.
"Selain itu, dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (HKPD) menekankan batas belanja pegawai maksimal sebesar 30 persen dari APBD dan batas minimal belanja modal minimal sebesar 40 persen dari APBD," sambung Tuti.
Dia menekankan, Komisi IX memandang penting pembahasan dan progress pelaksanaan perekrutan tenaga honorer. Karena itu pihaknya terus berupaya mendapatkan masukan dan informasi terobosan pemerintah daerah dalam mengatasi persoalan tenaga honorer guna menunjang pelaksanaan fungsi DPR RI di bidang pengawasan.
“Untuk kemudian menyusun rekomendasi dan mendapatkan masukan yang bermanfaat untuk dapat segera diimplementasikan Pemerintah agar seluruh tenaga kerja Honorer dan non PNS bisa menjadi ASN dan PPPK," kata Tuti.