Jumat 25 Nov 2022 23:29 WIB

Polemik Pemilihan Rektor PTKIN, Tawaran Jalan Keluar

Pemilihan rektor PTKIN oleh menteri agama menuai polemik

Red: Nashih Nashrullah
Kampus UIN Jakarta. Pemilihan rektor PTKIN oleh menteri agama menuai polemik
Foto:

Kritik ini berpandangan bahwa tidak selayaknya Menag sebagai pihak di luar kampus ikut campur tangan secara berlebihan (offside) dalam menentukan pimpinan kampus.

Sebagai pihak yang tidak inheren dengan urusan kampus, kuasa Menag dalam menentukan Rektor patut dipertanyakan, berdasarkan apa keputusan itu diambil.

Kondisi inilah yang mengakar kuat melahirkan adanya anasir “menagisasi kampus” di mana seorang Rektor dipilih hanya melalui pertimbangan kekerabatan dan kedekatan (dinasti).

Di lain pihak, kuasa Menag itu adalah bentuk ikhtiyar normatif dalam mengembalikan khittah akademis kampus. Menurut mereka yang setuju dengan kuasa administratif Menag ini, kampus adalah ruang dengan entitas keilmuan yang harus dibersihkan dari anasir politis di luarnya. 

Pergantian Rektor merupakan perwujudan suatu arah baru sistem pendidikan yang terus berkemajuan.

Keberadaannya tidak boleh memunculkan suatu pergumulan politik di internal kampus yang pada akhirnya timbul arogansi struktural dan permusuhan elektoral. Hal ini oleh M Ali Ramdhani dikatakan bahwa kampus itu civitas akademika dan bukan civitas politika .       

Dari sinilah keberadaan kuasa Menag berdasarkan instrumen kewenangan itu menjadi solusi normatif yang berusaha menengarai konflik elektoral berkepentingan antara beberapa pihak dalam kampus.

Tentu hal ini tidak diinginkan terjadi, apalagi pada gilirannya membentuk suatu ekosistem politik turun temurun di mana kultur akademik kampus terpaksa tergantikan dengan hegemoni pergulatan politik yang tidak berkesudahan. 

Menguji konsistensi ide

Hal yang perlu kita uji di sini adalah munculnya ide soal mekanisme pemilihan Rektor dikembalikan kepada Senat kampus. Tuntutan ini meyakini pihak kampus memiliki kewenangan yang inheren dan potensi kebenaran yang koheren. 

Senat sebagai orang hidup di lingkungan kampus lebih berhak berdasarkan pengalaman dan bacaan faktual terhadap dinamika dan harapan warga kampus. Tantangannya sejauh mana para anggota Senat bisa merepresentasikan (representative democracy) warga kampus dalam keputusannya. 

Secara konseptual, Jurgen Habermas (1992) mengajukan deliberasi terhadap kegagalan demokrasi. Tawarannya adalah, mekanisme prosedural tidak hanya berpacu dengan lembaga formal-representatif kampus semata, tetapi menyangkut seluruh warga kampus secara keseluruhan. 

Artinya, ide tadi inkonsisten dalam mengembalikan demokrasi seutuhnya jika hanya melalui sirkulasi elite kampus, yaitu para anggota Senat. Potensi inilah yang dikhawatirkan memunculkan adanya intervensi dan ladang transaksi para oligarki untuk kepentingan elitis-sektoral pihak tertentu.

Selanjutnya, pemilihan Rektor oleh Menag. Kita perlu melihat PMA 68/2015 yang tentunya lahir dari pertimbangan nalar dan moral (Mujiburrahman, 2022). Kalau merujuk pada Pasal 4 PMA 68/2015, misalnya, Menag tidak serta merta memiliki instrumen penetapan yang absolut (sewenang-wenang).

Sebagai lembaga yang berwenang, Menag juga tunduk pada mekanisme kompetensi para calon potensial yang berlaku, dan hal itu dipasrahkan sepenuhnya kepada pihak internal kampus, termasuk kuasa pertimbangan Senat. 

Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama 

Ladang kompetensi inilah yang menjadi jawaban terhadap suatu paradoks dan paradoks ruang ekspresi demokrasi dalam suatu sistem pemilihan kampus saat ini.

Akan tetapi, sistem Menag ini bukan berarti tanpa masalah. Sejauh mana Menag dengan keputusan yang menyangkut pemilihan Rektor ini memiliki dasar pijakan dan pertanggungjawaban baik secara substantif, administratif, dan transparan.

Artinya, terdapat tuntutan di mana keputusan Menag nanti tidak boleh absen dengan pertanggungjawaban (geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid).

Alhasil, jika keputusan didapati ketidaksesuaian nantinya, ada ruang demokratis di mana pihak yang dirugikan dan merasa tidak puas dapat mengekspresikannya dalam suatu tuntutan. 

 

*Departemen Kajian dan Pengembangan Intelektual Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah se-Indonesia (Demfasna) 2021-2023

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement