REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pekerjaan rumah dalam pelayanan kesehatan terkait penanggulangan kanker di tanah air harus segera dituntaskan lewat langkah nyata dan didukung semua pihak.
"Pencegahan kanker sangat terkait dengan upaya mewujudkan ketangguhan bangsa. Karena dengan bangsa yang sehat akan melahirkan negara yang kuat," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Ketangguhan Bangsa dalam Upaya Preventif Risiko Kanker Di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, dalam keterangan persnya, Rabu (8/2).
Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc.,Ph.D (Direktur Utama BPJS Kesehatan),
dr. Sandra (Ketua Tim Kerja Kanker dan Kelainan Darah, Kemenkes RI), dr. Reni Wigati, Sp.A (K) (Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang RS. Dharmais), dan dr. Inez Nimpuno, MPS MA. (Staff Kemenkes Australian Capital Territory).
Selain itu, hadir pula Drg. Hj. Hasnah Syams, MARS. (Anggota Komisi IX DPR RI) dan Aryanthi Baramuli Putri, S.H., M.H (Ketua Umum Cancer Information and Support Center/ CISC) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, berbagai upaya pencegahan kanker harus didekati dengan persiapan konkret untuk merealisasikan sejumlah target yang telah ditetapkan, seperti bagaimana misalnya Indonesia bisa mewujudkan bebas kanker payudara.
Penderita dan penyintas kanker, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, saat ini seringkali masih menghadapi berbagai hambatan di setiap menjalani pengobatan.
Karena itu, tambah Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, untuk membangun ketangguhan bangsa lewat upaya pencegahan dari risiko kanker, diperlukan tata kelola kesehatan yang dapat memperkecil kesenjangan dalam akses pencegahan, deteksi dini dan tahapan pengobatan.
Upaya tersebut, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, harus mampu melibatkan semua pihak, civil society, komunitas dan swasta untuk mendorong pemerintah agar memiliki political will dalam mewujudkan sistem pencegahan dan pengobatan kanker yang memadai.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengungkapkan dari pembiayaan pengobatan penyakit katastrofik senilai Rp20 triliun pada 2022, sebesar 18%-nya untuk membiayai pengobatan kanker.
Ali mengungkapkan, pihaknya juga mendorong upaya pencegahan lewat tes skrining berkala sehingga sejumlah potensi penyakit bisa dideteksi sejak dini, disamping himbauan menerapkan pola hidup sehat dalam keseharian.
Upaya tersebut, jelas Ali, harus diwujudkan lewat gerak bersama. Dari sisi masyarakat juga harus termotivasi untuk melakukan deteksi dini dan pola hidup sehat, serta memahami sejumlah regulasi dalam layanan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Ketua Tim Kerja Kanker dan Kelainan Darah, Kemenkes RI, Sandra mengungkapkan, potensi kasus baru kanker cenderung meningkat, karena 70% kasus kanker ditemukan pada stadium lanjut.
Padahal, tambahnya, bila kanker terdeteksi pada stadium I-III peluang sembuhnya bisa 9/10, sedangkan bila kanker terdeteksi pada stadium IV peluang sembuhnya hanya 1/10.
Karena itu, ujar Sandra, Kemenkes menargetkan deteksi dini terhadap 41,8 juta perempuan berusia 30 tahun-50 tahun dengan capaian kinerja hingga saat ini 20,77%.
Selain itu, tambah dia, pada tahun ini Pemerintah juga akan melakukan vaksinasi HPV di seluruh Indonesia, disamping juga ada penambahan manfaat dari JKN yang bisa membiayai pengobatan kanker paru dan usus, serta peningkatan kapasitas layanan kanker pada sejumlah rumah sakit di 34 provinsi di Indonesia.
Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang RS. Dharmais, Reni Wigati mengungkapkan Indonesia mengalami krisis penyakit katastrofik yang menyebabkan kematian tinggi.
Setidaknya, ujar Reni, tiga kanker terganas yang menyebabkan kematian di Indonesia yaitu kanker payudara, serviks dan paru. Sebagai contoh untuk kanker payudara di Indonesia saat ini dari 100 ribu orang yang diperiksa ditemukan 148 orang terdeteksi kanker payudara.
Pengendalian kanker, tambah Reni, tidak bisa menunjukan hasil yang segera. Selain itu, penyebab kanker yang belum diketahui dengan pasti merupakan faktor yang mempersulit pengobatannya.
Karena itu, tegas Reni, kegiatan promotif dan preventif sangat penting dalam pencegahan kanker bila dibandingkan dengan harus menata laksanakan pengobatan kanker.
Staff Kemenkes Australian Capital Territory, Inez Nimpuno mengungkapkan sebagai diaspora dia optimistis dan bangga dengan rencana dan upaya yang sedang dilaksanakan terkait pencegahan dan peningkatan pelayanan penderita kanker. "Sebagai pasien berbagai upaya dan rencana pemerintah itu sangat melegakan saya," ujar Inez.
Namun, tambah dia, yang terlihat di lapangan terjadi fragmentasi pelayanan kesehatan sehingga layanan kanker menjadi rumit.
Menurut Inez, banyak sekali terobosan dalam layanan kanker di Indonesia. Namun, dengan proses layanan yang cukup rumit sangat membutuhkan pemahaman dari pasien kanker dalam menjalani pengobatan. Apalagi, ujarnya, kanker adalah penyakit yang banyak menyimpan ketidakpastian.
Anggota Komisi IX DPR RI, Hj. Hasnah Syams berpendapat pelayanan kesehatan adalah hal yang sangat dibutuhkan masyarakat. Karena kanker adalah penyebab kematian ke-4 di Indonesia.
Upaya pencegahan, menurut Hasnah, bisa dilakukan lewat pendidikan kesehatan, deteksi dini dan pengobatan.
Penanggulangan kanker, tambah dia, harus melibatkan semua pihak dengan mengedepankan deteksi dini untuk meningkatkan harapan hidup pasien. Selain itu upaya promotif juga harus didukung anggaran yang memadai.
Ujung tombak upaya pencegahan kanker, menurut Hasnah, adalah Puskesmas dan posyandu di daerah, sehingga diperlukan dukungan peningkatan kapasitas SDM dalam pelaksanaannya.
Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri berpendapat masyarakat sangat buta terhadap upaya deteksi dini. Hal itu dibuktikan dengan 70% pasien kanker baru datang ke rumah sakit pada stadium tinggi.
Aryanthi mendorong adanya payung hukum setingkat Inpres atau Keppres, agar penanggulangan kanker dalam bentuk deteksi dini dan pengobatan kanker dapat dilakukan dengan baik secara menyeluruh di tanah air.
Menurut Aryanthi, rencana peningkatan layanan kanker dari pemerintah harus juga mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Di akhir diskusi jurnalis senior Saur Hutabarat mengutip satu tulisan di The Economist yang mengungkapkan bila semua perempuan mengenyam pendidikan setidaknya setingkat sekolah dasar, akan mengurangi 2/3 tingkat kemiskinan.
Dengan analogi tersebut, Saur berpendapat, dengan memberikan pelatihan dan pemahaman tentang pentingnya deteksi dini dan periksa payudara sendiri (SADARI) kepada setiap perempuan di Indonesia, berpotensi menekan 2/3 ancaman kanker.
Mendidik perempuan, jelas Saur, merupakan jalan cerdas dalam upaya mengatasi ancaman kemiskinan dan kanker sejak dini.