REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, temuan adanya pungutan liar (pungli) di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencoreng lembaga antirasuah itu. Pengusutan yang transparan diharapkannya dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Di samping itu, ia mendorong adanya evaluasi terhadap prosedur tetap (protap) terhadap pengawasan di rutan KPK. Khususnya orang-orang yang menjadi penjaga dari rutan tersebut.
"Ya, sebenarnya itu soal protap ya, soal protap itu kan kita tidak tahu orang-orang yang mengawasi, tugas pengawasnya itu apakah unsur penyelenggara negara. Misalnya semua polisi, kayaknya tidak mungkin juga, tidak ada SDM-nya," ujar Habiburokhman di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Menurutnya, ada kemungkinan pengawas rutan KPK diambil dari perusahaan outsourcing maupun penyelenggara negara. Namun, hal tersebut harus dikaji baik dan buruknya dalam prosesnya nanti.
"Tapi yang paling penting kan apa? karena untuk mencegah hal-hal seperti ini, orang kalau bukan penyelenggara negara mungkin kadang-kadang menganggap remeh. Kadang dia juga nggak ada persiapan yang matang juga untuk di posisi situ," ujar Habiburokhman.
"Soal integritas dan sebagainya kurang pembekalannya. Tapi kalau penyelenggara negara kan sudah terngiang-ngiang kalau sampai melakukan pelanggaran, maka ada sanksi hukum yang cukup berat," sambungnya.
Dewan Pengawas KPK mengungkap adanya dugaan pungutan liar (pungli) di Rutan KPK. Berdasarkan data sementara yang dikantongi Dewas, nilainya ditaksir mencapai Rp 4 miliar. "Benar, Dewan Pengawas telah menemukan dan membongkar kasus terjadinya pungli di Rutan KPK," kata Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers di Gedung Dewas, Jakarta Selatan, Senin (19/6/2023).
Tumpak mengatakan, pihaknya telah menyampaikan dugaan pungli ini ke Pimpinan KPK. Sehingga nantinya temuan itu dapat ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan. "Karena ini sudah tindak pidana," ujar dia.
"Dewas tentunya juga akan memeriksa masalah etiknya. Kalau sudah pidana pasti (menyangkut) etik," tambah Tumpak menjelaskan.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewas KPK, Albertina Ho mengaku, sejauh ini pihaknya menemukan nilai pungli tersebut mencapai Rp 4 miliar. Namun, menurut dia, jumlah tersebut masih dapat bertambah.
"Periodenya Desember 2021 sampai dengan bulan Maret 2022 itu sejumlah Rp 4 miliar, jumlah sementara, mungkin akan berkembang lagi," ujar Albertina.