REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mempertimbangkan wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer. Anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, mempersilakan saja revisi itu dilakukan.
Ia mengatakan, Komisi I DPR RI sebenarnya menanti saja kalau memang pemerintah sudah menilai UU Peradilan Militer perlu direvisi. Serta, jika pemerintah sudah mendalami pasal-pasal yang mau dilakukan revisi.
"Kalau memang pemerintah sudah menilai itu perlu direvisi dan sudah tahu pasal-pasal yang mau direvisi ayo, silakan bahas ke DPR," kata Dave kepada Republika, Kamis (3/8/2023).
Untuk merevisi ada proses panjang yang perlu dilalui. Mulai dari Mabes TNI melalui Kementerian Pertahanan, lalu dikirim ke Kemenkumham, dikirim ke Sekretariat Negara. Setelah itu, barulah Supres dikirimkan ke DPR. "Baru kita mulai pembahasan," ujar Dave.
Untuk hal-hal yang perlu direvisi, ia menekankan, penilaian tidak bisa dilakukan dari satu sisi saja. Jadi, jika nanti revisi benar-benar akan dilaksanakan perlu dilihat masalahan-masalah yang ada dari banyak sisi.
"Kalau kita bicara UU Peradilan Militer itu luas meliputi segala macam, baik itu pidana, mungkin masuk TUN juga, supaya harus dipertimbangkan," kata Dave.
Ketua DPP Partai Golkar ini turut mengomentari polemik KPK-TNI dalam kasus suap Kabasarnas yang dirasa mendorong wacana revisi UU Peradilan Militer. Ia melihat, polemik itu memang bisa jadi momentum perbaikan.
Meski begitu, ia menegaskan, Komisi I DPR RI sebenarnya mengembalikan itu semua kepada pemerintah. Menurut Dave, DPR RI siap membahas jika pemerintah menilai UU Peradilan Militer memang sudah waktunya direvisi.
"Jadi, tidak ada penolakan, kita siap membahas karena nanti kita indikasi permasalahannya apa saja," ujar Dave.
Sebelumnya, Menkopolhukam, Mahfud MD, merespon desakan untuk merevisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Hal itu karena ketentuan yang membuat TNI berpotensi lolos pidana karena tidak disidang di pengadilan umum.