Selasa 26 Sep 2023 03:53 WIB

Jadikan Kemarau Momentum Bersyukur

Kemarau mengingatkan agar kita menghargai air yang selama ini sering diabaikan.

Kemarau harus jadi momentum bersyukur. Foto ilustrasi Sejumlah warga mencuci pakaian menggunakan air dari aliran Kali Cileungsi di Desa Gunung Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/9/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kemarau harus jadi momentum bersyukur. Foto ilustrasi Sejumlah warga mencuci pakaian menggunakan air dari aliran Kali Cileungsi di Desa Gunung Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/9/2023).

Oleh : Hasanul Rizqa, Redaktur Agama Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini, umumnya daerah-daerah di Indonesia sedang diterpa kemarau yang panjang. Hujan yang tidak kunjung datang menyebabkan kekeringan di banyak titik. Hal itu pada gilirannya memicu berbagai dampak, seperti sawah-sawah yang gagal panen, kekurangan sumber air bersih, dan meningkatnya potensi kebakaran pada lahan berumput kering.

Sekurang-kurangnya, kemarau berkepanjangan akan terus berlangsung hingga November 2023. Menurut prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sejumlah daerah Tanah Air akan berstatus waspada kekeringan hingga dua bulan ke depan. Fenomena ini disebabkan oleh pengaruh El Nino.

Meskipun puncak musim kemarau, yakni akhir Agustus lalu, telah lewat, dampaknya masih patut diwaspadai. Hal itu terutama bagi masyarakat yang tinggal di 77 persen wilayah Indonesia. BMKG juga mengingatkan, wilayah RI yang berada di selatan ekuator perlu meningkatkan kesiap-siagaan terhadap potensi hari tanpa hujan yang panjang.

“Potensi kekeringan yang harus diwaspadai dampaknya secara umum adalah wilayah Indonesia yang berada di selatan ekuator, seperti Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, Jawa-Bali-Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan,” kata  Plt Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani, dikutip Republika, Rabu (23/8/2023).

Dalam menghadapi kondisi demikian, Islam telah mengajarkan kepada umatnya agar meningkatkan kesabaran dan sekaligus menguatkan ikhtiar. Di samping itu, pelbagai musibah yang terjadi—termasuk kemarau panjang—hendaknya menjadi momentum untuk bermuhasabah, baik diri individual maupun kolektif sebagai umat dan warga bangsa.

Hendaknya kita merenung. Hari-hari tanpa hujan menjadi cara Allah untuk mengingatkan manusia agar menghargai nikmat-Nya yang selama ini dianggap biasa: air. Bahkan, tidak sedikit lisan yang justru menyalahkan hujan ketika genangan atau banjir terjadi. Padahal, penyebabnya justru adalah tangan-tangan yang merusak alam sehingga sungai tidak lagi lancar mengalirkan air hingga ke muara, dan tanah tak lagi bisa menyerap air ke dalam.

Bersyukur adalah cara terbaik dalam menyikapi nikmat dari Allah. Hal itu tidak hanya diwujudkan dengan ucapan, melainkan juga tindakan. Praktik bersyukur itu, umpamanya, dengan membantu dan menyalurkan air bersih kepada masyarakat yang dilanda kekeringan akut. Kalangan filantropi Islam telah menunjukkan tindakan nyata.

Ikhtiar langit

Islam juga memberikan berbagai tuntunan kepada kaum Muslimin dalam kondisi sulit air. Di antaranya adalah shalat istisqa. Ibadah sunah ini merupakan ikhtiar jalur langit, yakni secara bersama-sama meminta dengan tulus ikhlas dan kerendahan hati kepada Allah agar Dia berkenan menurunkan hujan.

Al-istisqa bermakna meminta curahan air penghidupan (thalab al-saqaya). Umumnya ulama-ulama fikih mendefinisikan shalat istisqa sebagai sebuah shalat sunah muakad. Dalam sejarah, shalat ini pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, seperti dikisahkan lewat hadis riwayat Abu Hurairah. Adapun pelaksanaannya sama dengan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Sesudah takbiratul ihram, dilanjutkan dengan takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Setelah membaca surah al-Fatihah dan lainnya, lalu rukuk, sujud, hingga duduk tahiyat, kemudian ditutup dengan salam.

Khatib lalu menyampaikan khutbah, sama seperti khutbah Idul Fitri dan Idul Adha. Khutbah dianjurkan untuk mengajak umat Islam bertobat, meminta ampun atas segala dosa, serta memperbanyak istighfar. Itu dengan harapan, Allah SWT mengabulkan apa-apa yang menjadi kebutuhan umat Islam dan makhluk hidup lainnya yang dilanda kemarau panjang.

Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas telah mengimbau kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat istisqa. “Memohon agar Allah menurunkan hujan yang lebar merata, mengairi, menyuburkan, bermanfaat tanpa mencelakakan, segera tanpa ditunda, amin,” kata Menag, Jumat (15/9/2023).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat sebelumnya juga mengajak seluruh masyarakat agar menggelar shalat istisqa. Sekretaris MUI Jabar KH Rafani Akhyar dalam keterangannya, Rabu (13/9/2023), mengingatkan, dampak kemarau panjang telah terasa, termasuk pada sektor ekonomi. “Dampak ekonomi lainnya, beras sampai Rp 16 ribu hingga Rp 17 ribu,” katanya.

Hindari ‘kemarau hati’

Berbagai imbas dari musim kemarau panjang tidak kurang jelasnya. Bahkan, acap kali kesulitan akibat fenomena ini terjadi di depan mata kita dalam keseharian. Yang juga penting dipanjatkan dalam doa-doa bukan hanya turunnya hujan dan basah secara fisik, melainkan hati yang tetap basah dengan iman dan harapan.

“Allahumma, ya Muqallibal-qulub, tsabbit qalbi 'ala dinik.” Demikian doa yang diajarkan Rasulullah SAW. Artinya, “Ya Allah, Zat Yang Mahamembolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”

Tanpa pertolongan Allah, hati akan kering sehingga diri cenderung tergoda untuk berbuat aniaya. Terlebih lagi bagi mereka yang sedang dililit kesukaran. Pada saat yang sama, orang Islam yang diberi kelapangan pun hendaknya hatinya terdorong untuk berbuat kebaikan

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement