Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Bagaikan makhluk hidup, bahasa Indonesia terus tumbuh dan membesar. Berbagai kata asing diserapnya. Tapi, kini bahasa asing juga sudah mulai menyumbang khazanah bahasa dunia. Tak percaya?
Beberapa tahun silam, pada sebuah sore sekelompok seniman kondang kongko di bawah kerindang pepohonan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Perbincangan berlangsung hangat ditemani makanan ringan serta minuman jahe bikinan koki sebuah warung yang mereka namai 'warung lidah buaya'. Seorang pelayan asal Brebes yang juga diberi nama baru sebagai Alek sibuk bolak-balik melayani. Di situ duduk nama-nama seniman legendaris, seperti alharhum Motinggo Busye, Sutarji Calzoum Bahri, Ikranegara, almarhum Amang Rahman, dan lainnya.
Seperti biasa, Busye menguasi pembicaraan. Selain idenya segar dan selalu mengundang gelak tawa, gaya bercerita mendiang seniman multitalenta itu sangat runtut dan menarik. Apa yang dikatakannya persis cerita yang ada di novelnya yang terhimpun di banyak sekali media. Sembari menyimak cerita Busye, Ikra pun menceritakan kekagumannya karena pernah melihat berbagai buku karya dia mendominasi rak buku di sebuah toko bacaan di Singapura.
''Pokoknya hebatlah dia. Saya pernah lihat sendiri toko buku di Singapura itu. Satu rak penuh!'' kata Ikranegara menyela perbincangan.
Mendengar celetukan itu, Busye hanya senyum-senyum. Saat itu, dia bercerita mengenai korban perang di Aceh dan kasus pencucian uang untuk kebutuhan politik. Dan benar saja, beberapa tahun ke depan dua cerita itu kemudian muncul di media massa ibu kota dalam bentuk cerita pendek. Hebatnya lagi, dua cerpen Busye tersebut dalam selang waktu yang tak terlalu lama mendapat penghargaan sebagai karya cerpen terbaik.
''Iyalah Busye itu hebat. Bayangkan fakta dan fiksi dibuatnya menjadi sama saja,'' kata Sutardji sembari tertawa meledek. Busye kali ini dengan cepat menimpali: ''Betul Tardji. Lu pun sudah saya buktikan ketika saya menulis ramalan bintang di sebuah majalah wanita. Saya lakukan bertahun-tahun dengan nama samaran. Eh, ternyata banyak yang percaya. Fiksi dan nyata itu ternyata bisa sama saja,'' ujarnya.