REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akmal Nasery Basral*
Jenderal Moshe Dayan dengan dukungan para rabi melarang umat Yahudi mengunjungi Bukit Bait Suci sejak 1967. Pemerintahan Benjamin Netanyahu melanggarnya dan tutup mata.
Hari ini tepat sepekan Perang Gaza pecah sejak Sabtu 7 Oktober lalu. Hamas memulai serangan lewat Operasi Topan Al Aqsha, Israel membalas melalui Operasi Pedang Besi. Tulisan ini bukan kronik tentang data jumlah korban atau jenis senjata yang digunakan. Saya mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat dan lebih cermat salah satu masalah utama Palestina – Israel dari perspektif sejarah dan hukum Taurat.
Pada 6 Juni 1967, hari kedua Perang Enam Hari, para penerjun payung Israel dari Brigade 55 yang dikomandani Kolonel Motta Gur sukses memasuki wilayah Yerusalem Timur di bawah kekuasaan Yordania. “Har HaBayit sudah kita kuasai,” seru Kolonel Gur gembira melalui radio ke markas besar militer.
Ini bukan cuma laporan operasi biasa, melainkan sebuah klaim sejarah yang istimewa. Sebab, Har HaBayit adalah bahasa Ibrani untuk Bukit Bait Suci (Temple Mount) atau al Haram al Sharif dalam bahasa Arab. Inilah lokasi Masjid Al Aqsha tempat Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wassalam melakukan Isra dan Mi’raj pada abad ke-7.
Petugas radio Brigade 55 bernama Ezra Orni di samping Kolonel Gur dengan cekatan mengeluarkan bendera Israel dari salah satu sakunya dan bertanya apakah boleh mengibarkannya dari Kubah Emas?
"Yalla!” jawab Kolonel Gur. Lakukan!
Maka Orni ditemani Mayor Arik Achmon bergegas naik ke bangunan suci yang juga disebut Kubah Batu (Dome of the Rock) itu. Bendera Bintang Daud pun berkibar.
Menteri Pertahanan Jenderal Moshe Dayan yang berada di Bukit Scopus dan menyaksikan kelakuan anak buahnya melalui teropong kontan berteriak gusar. “Apa yang kalian lakukan? Mau jadikan Timur Tengah lautan api? Turunkan bendera sekarang juga!” bentaknya. “Siap, Jenderal!” jawab Kolonel Gur goyah. Bendera Israel pun diturunkan, dilipat, dan disimpan kembali oleh Orni.
Ini kesaksian Mayor Arik Achmon yang diceritakannya kepada jurnalis Yossi Klein Halevi dari majalah bulanan The Atlantic edisi Juni, 2017.
Pada 10 Juni Perang Enam Hari berakhir dengan kemenangan Israel atas tiga negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah). Sepekan kemudian, Moshe Dayan bertemu dengan pihak Waqf Yordania, pengelola kompleks Bukit Bait Suci.
Dia kembalikan mandat pengelolaan kompleks kudus bagi umat Yahudi, Kristiani, dan Islam, tersebut ke pihak Waqf kendati hak untuk mengontrol dan menjaga wilayah sekitarnya tetap di tangan Israel. Bagi Dayan, inilah cara mendinginkan letupan konflik dan menurunkan tensi ketegangan. Para pemuka Yudaisme mendukung keputusan sang Menteri Pertahanan.
Maka sejak 17 Juni 1967 berlaku kebijakan yang dikenal sebagai Status Quo Bukit Bait Suci (Temple Mount Status Quo) yaitu kebijakan di mana umat Islam bebas berkunjung dan melakukan ibadah di dalam kawasan, sementara non-Muslim hanya boleh datang sebagai wisatawan. Turis. Orang-orang Yahudi tak diizinkan melakukan ritual peribadatan di lingkungan dalam Bukit Bait Suci kecuali di Tembok Ratapan (Western Wall) yang berada di sebelah barat.
“Inisiatif Moshe Dayan meski tak tercantum dalam satu pun peraturan negara Israel, tetapi diperkuat oleh persetujuan Mahkamah Agung Israel yang melihatnya sebagai cara efektif menjaga perdamaian,” ungkap Shmuel Berkovits, pengacara dengan spesialisasi hukum tempat-tempat suci Israel.
Hampir setengah abad setelah Status Quo berlaku—persisnya 48 tahun kemudian--pada 2015 terjadi kesepakatan empat negara (Israel, Palestina, Yordania, dan Amerika Serikat) yang melakukan reafirmasi terhadap kebijakan itu. “Pemerintah Israel berkomitmen untuk tetap menjalankan Status Quo,” ujar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengucap janji kepada dunia internasional.
Yerusalem terbagi dalam dua kategori wilayah, yakni wilayah umum (machaneh Yisrael) dan wilayah suci (machaneh kodesh/machaneh levayah). Bukit Bait Suci termasuk yang kedua. Terlarang dimasuki oleh orang Israel kecuali bagi yang ingin menjalani proses penyucian diri paripurna dengan membawa hewan kurban seekor sapi betina berwarna merah (red heifer atau para adumma dalam bahasa Ibrani).
Para adumma adalah sapi betina yang belum dikawinkan, belum pernah bunting, belum pernah diperah susunya, dan kulitnya harus berwarna merah, bukan cokelat, menurut hukum Taurat. Dalam praktiknya, sapi seperti itu sangat sulit ditemukan --untuk tak menyebutnya mustahil. Maka, para rabi selalu melarang umat Yahudi memasuki kawasan Bukit Bait Suci, bukan karena mereka pendukung politik Jenderal Moshe Dayan, melainkan tersebab hukum Taurat yang mereka yakini.
Larangan itu selain berulang kali disampaikan di sinagoge atau melalui pemberitaan di media massa, juga dalam bentuk pengumuman tertulis dalam bahasa Ibrani dan Inggris pada gerbang masuk Bukit Bait Suci seperti terlihat pada ilustrasi foto di awal tulisan ini yang mewartakan: "Announcement and Warning: According to Torah Law, entering the Temple Mount area is strictly forbidden due to the holiness of the site – The Chief Rabbinate of Israel. (Pemberitahuan dan Peringatan: Berdasarkan Hukum Taurat, dilarang keras memasuki wilayah Bukit Bait Suci terkait dengan kesucian wilayah – Kepala Kerabian Israel).
Itu sebabnya mengapa Yitzhak Yosef, Kepala Rabi Yahudi Sefardi, tiga bulan lalu mengecam keras Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir yang menurut dia "telah berdosa dan menyebabkan umat Yahudi lainnya ikut berdosa dengan mengunjungi Bukit Bait Suci”, katanya seperti dikutip harian The Times of Israel (16/7/23). Ben Gvir, politisi sayap kanan dari partai Otzma Yehudit yang radikal, dinilainya sebagai pembangkang halacha, hukum Ortodoks Yahudi.