Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Diskursus partai oposisi mulai mencuat kembali ke publik, setelah berbagai komponen bangsa menyatakan betapa perlunya ada partai yang akan menjadi oposisi atas hasil Pemilu 2024. Walaupun kata “oposisi” di Indonesia terkadang berkesan negatif, dan lebih familiar dengan istilah “berada di luar pemerintahan”, tetapi sebenarnya di antara kedua diksi itu terdapat banyak esensi yang serupa.
Oleh karena itu, dalam menafsirkannya perlu kehati-hatian tersendiri. Pertama, Pemilu 2024 menciptakan tarik menarik antara oligarki-sebagai kelompok yang cenderung mempertahankan status quo–dan kelompok yang menghendaki perubahan yang sebagian besar diwakili oleh para aktivis masyarakat sipil.
Kedua, oligarki menciptakan kekuasaan yang kuat, namun politik Indonesia tidak dalam genggamannya, karena adanya desakan untuk mengembalikan demokrasi Indonesia tetap pada jalan ideologisnya.
Ketiga, seiring dengan meningkatnya tuntutan yang dialamatkan kepada rezim yang berkuasa, Indonesia menyaksikan kelahiran kekuatan-kekuatan pro perubahan. Pada dasarnya, kekuatan pro perubahan terdiri dari beragam aktor politk dalam mengadopsi tindakan, strategi, dan identitas dalam mengartikulasikan tuntutan-tuntutan spesifik.
Dalam sejarah perpolitikan nasional Indonesia, oposisi menjadi frasa yang kurang mendapat tempat di masyarakat. Hal ini dipengaruhi lamanya kekuasaan otoriter Orde Baru berkuasa di negeri ini. Dalam khasanah teori, keberadaan partai oposisi di perlemen sangat terkait dengan model demokrasi yang dianut.
Dalam model mayoritarian seperti Inggris, partai oposisi akan menjalankan perannya langsung berhadap-hadapan (adversarial) dengan pemerintah, karena pemerintah sebagai pemegang kekuasaan bercirikan eksklusif, kompetitif, adversarial, sebagaimana di beberapa negara-negara yang menganut sitem pemerintahan parlementer dengan sistem dwipartai.
Berbeda dengan di negara-negara yang menganut model demokrasi konsensus, pemegang kekuasaan bercirikan inklusif, tawar menawar (bargaining), dan kompromis, sehingga akan sulit untuk mengidentifikasi peran partai oposisi yang dianggap menentukan kebijakan pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada peran partai oposisi di Amerika Serikat, dalam kasus-kasus tertentu Partai Republik dan Partai Demokrat dapat saling berhadap-hadapan, tetapi upaya kompromi di Senate maupun House of Representative tetap dapat dilakukan, karena ada peluang untuk menegosiasikan berbagai kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Konteks demokrasi Pancasila
Kultur masyarakat Indonesia lebih mengedepankan cara-cara kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kultur ini kemudian yang memberi warna pada sistem politik di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama demokrasi Pancasila.
Walaupun dalam demokrasi secara umum akan selalu muncul pilihan antara oposisi dan koalisi untuk mengharapkan pemerintah kuat dan demokratis. Tetapi oposisi dalam realita belum tentu bisa terbentuk dalam sistem perpolitikan di Indonesia yang lebih mengedepankan cara-cara kekeluargaan dan gotong royong serta memiliki demokrasi Pancasila yang berasal dari keluhuran dan kultur bangsa Indonesia.