REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perubahan iklim mengakibatkan hari lebih lama dari biasanya seiring pencairan massal es di kutub yang mengubah bentuk bumi. Para ilmuwan mengatakan fenomena ini menunjukkan bagaimana aktivitas manusia mengubah bumi dan menyaingi proses alam selama miliaran tahun.
Meski hanya lebih lama beberapa milidetik, tapi perubahan ini berpotensi mengganggu lalu lintas internet, transaksi keuangan dan navigasi GPS yang sangat mengandalkan waktu yang presisi. Dikutip dari the Guardian, Selasa (16/7/2024), lama hari bumi bertambah seiring masa geologisnya karena tarikan gravitasi bulan pada daratan dan laut.
Pencairan es di Greenland dan Antartika yang diakibatkan pemanasan global akibat aktivitas manusia menaikkan permukaan air laut di seluruh dunia, sehingga lebih banyak air laut di dekat ekuator. Hal ini membuat bumi semakin pepat atau gemuk, hal ini memperlambat rotasi bumi dan memperpanjang hari.
Dampak aktivitas manusia pada bumi juga terlihat pada penelitian terbaru yang menunjukkan redistribusi air yang mengakibatkan sumbu rotasi bumi yakni kutub utara dan selatan bergeser. Penelitian lain menunjukkan emisi karbon menyusutkan stratosfer.
"Kita dapat melihat dampak yang kita timbulkan sebagai manusia pada sistem bumi, tidak hanya secara lokal, seperti juga kenaikan suhu, tapi secara fundamental, mengubah bagaimana bumi bergerak dan berputar," kata Profesor Benedikt Soja dari ETH Zurich.
Soja mengatakan perubahan perputaran bumi seharusnya terjadi dalam waktu miliaran tahun, tapi karena emisi karbon hal ini terjadi dalam waktu 100 atau 200 tahun. Ketepatan waktu manusia berdasarkan jam atom yang sangat tepat. Namun, lama hari yang ditentukan rotasi bumi bervariasi berdasarkan pasang surut bulan, dampak iklim, dan beberapa faktor lainnya seperti lambatnya pemulihan kerak bumi setelah menyusutnya lapisan es yang terbentuk pada zaman es terakhir. Soja mengatakan faktor-faktor ini harus diperhitungkan.
"Semua pusat data menjalankan internet, komunikasi dan transaksi finansial mereka berbasis ketepatan waktu. Kami juga membutuhkan ketepatan pengetahuan navigasi waktu, dan terutama untuk satelit dan pesawat luar angkasa," kata Soja.
Penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the USA ini menggunakan pengamatan dan rekonstruksi komputer untuk menilai dampak pencairan es terhadap panjangnya hari. Laju perlambatan bervariasi antara 0,3 dan 1,0 milidetik per abad (ms/cy) antara tahun 1900 dan 2000. Namun sejak tahun 2000, seiring dengan semakin cepatnya pencairan, laju perubahannya juga semakin cepat menjadi 1,3 ms/cy. "Laju saat ini kemungkinan lebih tinggi dibandingkan masa kapan pun dalam beberapa ribu tahun terakhir," kata para peneliti.
"Diproyeksikan akan tetap berada di level 1,0 ms/cy selama beberapa dekade ke depan, bahkan jika emisi gas rumah kaca dibatasi dengan ketat," tambah mereka.
Para peneliti mengatakan bila dunia tidak menurunkan tingkat emisi, maka laju perlambatan akan meningkat menjadi 2,6 ms/cy pada tahun 2100. Menyalip pasang surut air laut sebagai kontributor tunggal terbesar untuk variasi panjang hari.
"Penelitian ini merupakan kemajuan besar karena menegaskan hilangnya es yang mengkhawatirkan di Greenland dan Antartika memiliki dampak langsung pada panjang hari, yang menyebabkan hari-hari kita semakin panjang," kata Dr Santiago Belda dari Universitas Alicante di Spanyol yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Ia mengatakan variasi panjang hari memiliki implikasi penting. Tidak hanya pada cara manusia mengukur waktu, tetapi juga pada GPS dan teknologi lain yang mengatur kehidupan modern.