REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga think-tank EMBER mencatat saat ini perusahaan-perusahaan batu bara di Indonesia masih fokus menurunkan emisi karbon dioksida dalam inisiatif keberlanjutan mereka. Beberapa perusahaan memulai upaya penurunan emisi, termasuk memperluas penggunaan energi fotovoltaik surya. Selain itu, banyak perusahaan batu bara besar di Indonesia yang juga terlibat dalam pengembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik.
"Perusahaan batu bara Indonesia mulai memanfaatkan energi terbarukan untuk menurunkan emisi dari operasi penambangan batu bara," kata EMBER dalam laporannya yang berujudul “Risiko Mengabaikan Emisi Metana Di Pertambangan Batu Bara".
Namun, menurut EMBER, perusahaan-perusahaan batu bara besar di Indonesia belum memiliki rencana mitigasi emisi gas metana tambang batu bara. Padahal, kata Ember dalam laporan itu, di antara semua gas rumah kaca yang dilepaskan dari rantai pasokan batu bara, gas metana tambang batu bara (CMM) dianggap sebagai emisi utama karena memiliki efek pemanasan 30 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida.
"Beberapa perusahaan batu bara besar di Indonesia sudah mulai menurunkan emisi melalui berbagai langkah dekarbonisasi. Beberapa di antaranya berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih dan mengembangkan bisnis energi hijau. Namun, sebagian besar dari mereka masih belum memberikan perhatian signifikan pada dampak dari emisi metana tambang batu bara, serta upaya penanganannya. Mengukur dan melaporkan emisi metana adalah langkah krusial dalam upaya dekarbonisasi tambang batu bara dan keselarasannya terhadap standar pelaporan nasional dan internasional," Kata Analis Senior Iklim dan Energi EMBER Dody Setiawan dalam laporan tersebut.
EMBER mengatakan langkah pertama untuk mengatasi emisi gas metana adalah dengan dimulainya pengukuran dan pelaporan emisi gas metana. Proses ini akan membantu perusahaan-perusahaan batu bara lebih memahami tantangan emisi gas rumah kaca dan membantu menyelaraskan kewajiban pelaporan perusahaan dengan standar nasional dan internasional.
Selain itu, menurut EMBER, perusahaan batu bara perlu mempertimbangkan emisi gas metana dalam penilaian risiko lingkungan dan investasi, dalam konteks transisi energi yang lebih luas. Diversifikasi bisnis akan membantu mereka mengurangi risiko ini, dan memanfaatkan peluang bisnis energi terbarukan yang terus berkembang pesat.
EMBER mengatakan menurunkan emisi metana secara proaktif adalah langkah penting untuk mengurangi risiko tata kelola lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh penambangan batu bara.
EMBER mencatat sebagian besar perusahaan batu bara besar Indonesia baik langsung maupun melalui afiliasinya, telah merencanakan peningkatan pendapatan non-batu bara dengan mengejar peluang bisnis di sektor energi bersih, seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan mineral penting.
EMBER mengatakan perusahaan yang memperluas bisnis mereka ke energi bersih mungkin dapat memanfaatkan peluang bisnis dari Just Energy Transition Partnership (JETP) yang sedang dikembangkan. Kemitraan antara pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) ini menargetkan peningkatan porsi energi terbarukan Indonesia sebesar 44 persen.
Kemitraan tersebut telah menghasilkan proyek sebesar 97,3 miliar dolar AS antara tahun 2023 hingga 2030. Selain itu, perusahaan yang terlibat akan mendapat manfaat dari akses pendanaan yang lebih baik, karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengembangkan taksonomi berkelanjutan untuk mendorong investasi dalam inisiatif keberlanjutan.