Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Awal Oktober tahun lalu, saya menulis seperti ini di story Instagram saya. "Cara bangkit terbaik bagi PBSI adalah ambil tiga emas di Olimpiade Paris. Mustahil? Lah...nggak dapat medali bulu tangkis di Asian Games saja dulu sepertinya mustahil, tapi sekarang kejadian. Jadi, kenapa dapat tiga emas di Olimpiade dianggap mustahil? Harusnya dibikin kejadian."
Unggahan di IG tersebut saya buat merespons kegagalan PBSI membidik target medali emas Asian Games 2023. PBSI menargetkan tiga emas dari nomor beregu putra, tunggal putra, dan ganda putra. Bukan sekadar tak mendapatkan emas, untuk kali pertama Indonesia gagal merebut medali apa pun dari cabang olahraga yang katanya Indonesia banget!
China mendominasi dengan empat emas, Korea Selatan dua, dan India satu. Jepang, Thailand, China Taipei, dan Malaysia melengkapi negara yang mendapatkan medali.
Seorang rekan yang intens meliput bulu tangkis merespons story saya tersebut lewat pesan IG. Balasannya singkat, padat, tajam, menusuk, dan saya sepaham. Tapi, tak usahlah saya sampaikan di sini.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas kebiasaan PBSI selepas mendapatkan kegagalan. Biasanya, induk olahraga bulu tangkis Indonesia itu lebih suka mengirimkan rilis kepada media alih-alih mengajak wartawan yang konsen terhadap bulu tangkis berdiskusi bersama, menjelaskan apa yang sudah dikerjakan, dan kekurangan yang mesti diperbaiki.
Isi rilisnya hampir selalu sama, akan melakukan evaluasi. Kalau kata anak Gen Z sekarang: Si Paling Evaluasi.
Tak usah terlalu jauh, mari kita tarik dari Asian Games 2023 saja. Setelah kegagalan mendapatkan medali, PBSI mengeluarkan siaran media yang berisi 16 poin. Di dalamnya ada evaluasi menyeluruh dan perihal pembentukan Tim Adhoc Olimpiade.
Mental jadi kambing hitam
Awal Januari 2024, PBSI mengundang awak media untuk mengumumkan Tim Adhoc Olimpiade yang diketuai Sekjen PBSI Fadil Imran. Saya ikut hadir. Dalam konferensi pers, saya menanyakan tentang implementasi sport science di PBSI serta menanyakan kira-kira seberapa besar (dalam hitungan persentase) aspek mental mempengaruhi kegagalan pebulu tangkis Indonesia dalam suatu ajang.
Mengingat, sebelumnya, faktor mental ini yang selalu dikemukakan oleh para pengurus PBSI, seakan mengecilkan aspek-aspek lain. Jawaban yang diberikan kurang memuaskan saya. Namun satu yang pasti, pihak PBSI menjanjikan akan ada "perbaikan yang lebih baik dari seluruh aspek dibandingkan sebelumnya".
Awal tahun 2024, empat turnamen Malaysia Open, India Open, Indonesia Masters, dan Thailand Masters diikuti para pebulu tangkis Indonesia. Hasilnya, cuma satu gelar juara yang diraih lewat ganda Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin di Indonesia Masters. Tim Adhoc menyatakan pihaknya langsung melakukan evaluasi. Yang menjadi fokus kelemahan kala itu adalah masalah psikis atau mental (lagi).
Ada tanda-tanda positif ketika Jonatan Christie dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto berjaya di All England 2024 pada pertengahan Maret. Dua gelar ini disambut hangat. PBSI kemudian mengeluarkan rilis yang memuji perjuangan para atlet menjadi yang terbaik. Kemudian, ditambahkan bahwa pencapaian tersebut tidak lepas dari ketekunan para pelatih dan ofisial, terutama "bagaimana para pelatih menggugah para atlet untuk melawan keraguan dalam diri sendiri".
Namun, setelah itu semuanya suram. Puncaknya...