REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan pengurangan emisi menuju NZE 2060 ditargetkan mencapai 93 persen dari skenario Business as Usual (BaU).
Ia mengatakan target ini akan dicapai dengan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan serta menerapkan program efisiensi energi. "Kita ingin mengurangi emisi sampai 93 persen dan untuk mengoptimalkan sumber energi terbarukan untuk suplai energi dan memenuhi permintaan energi nasional," kata Eniya di Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, Kamis (5/9/2024).
Kementerian ESDM, lanjut Eniya, telah menyusun peta jalan menuju NZE 2060, yang mencakup program dan rencana aksi untuk mengelola suplai dan permintaan energi hingga 2060. Peta jalan ini terdiri dari berbagai strategi nasional yang dirumuskan bersama para pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta.
"Roadmap menuju NZE 2060 terdiri dari strategi-strategi nasional, termasuk implementasi efisiensi energi, elektrifikasi, moratorium dan penghentian PLTU batubara, serta pengembangan energi terbarukan, termasuk hidrogen dan amonia. Kita juga akan mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS di Indonesia," jelasnya.
Eniya mengungkapkan dua tantangan besar menuju NZE 2060. Tantangan pertama adalah bagaimana mengurangi emisi dari pembangkit listrik yang ada, baik melalui pengurangan maupun penghentian secara bertahap PLTU.
"Tantangan kedua adalah bagaimana menghadirkan lebih banyak EBT untuk menggantikan bahan bakar fosil dan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan yang diperkirakan sekitar 4 persen per tahun," kata Eniya.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan itu, pemerintah telah menetapkan rencana untuk pengembangan 367 gigawatt (GW) pembangkit listrik EBT pada tahun 2060. Kapasitas PLTS akan menjadi 115 GW, pembangkit listrik terbesar, diikuti oleh PLTA (46 GW), PLT Amonia (41 GW), dan PLTB (37 GW). Selain itu, tidak ada tambahan pembangkit listrik batu bara setelah tahun 2030, kecuali yang sedang dalam tahap konstruksi.
Dengan transformasi sistem energi yang didominasi oleh energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, Eniya menyebutkan bahwa akan muncul tantangan dalam hal stabilitas jaringan. Untuk mengelola berbagai energi terbarukan dalam jumlah besar di sektor listrik secara efektif, sumber teknologi yang menyediakan fleksibilitas perlu dipersiapkan.
Perencanaan ini, kata Eniya, akan mencakup peninjauan kembali sistem pembangkit listrik hingga transmisi dan distribusi, termasuk penyimpanan energi (baik listrik maupun termal) dan berbagai tingkatan respons permintaan.
"Untuk itu, penyimpanan energi sangat penting untuk mendukung implementasi transisi energi. Penyimpanan energi dapat meningkatkan fleksibilitas sistem tenaga listrik dan memfasilitasi dekarbonisasi melalui energi terbarukan. Ada banyak pilihan teknologi penyimpanan energi, seperti baterai, pump storage, dan hidrogen hijau," katanya.
Meski memiliki prospek yang besar, Eniya mengakui keberhasilan implementasi penyimpanan energi masih bergantung pada beberapa faktor, seperti tingginya biaya baterai, kerangka kebijakan yang mendukung, kemampuan industri dalam negeri, serta pengelolaan rantai nilai lokal dan limbah.
"Akan tetapi, kita tentu sadar bahwa Indonesia memiliki banyak potensi untuk mengembangkan rantai nilai penyimpanan energi yang lebih baik secara nasional. Sumber daya mineral yang melimpah serta permintaan yang terus meningkat akan mendorong pasar penyimpanan energi di masa depan," kata Eniya.