REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Umat Islam sempat dikejutkan dengan peristiwa yang pernah terjadi tahun 2005 lalu. Saat itu seorang perempuan bernama Amina Wadud memimpin shalat Jumat dengan makmum perempuan. Kemudian di tahun 2008 dia kembali menjadi imam shalat Jumat di Oxford dengan makmum campuran. Kini, pristiwa itu bakalan terulang saat penulis buku asal Kanada, Raheel Reza berniat menjadi imam Shalat Jumat yang berlangsung di Oxford, Inggris.
Ketua umum Asyiyiah, Siti Noordjannah Djohantini berpendapat persoalan itu memang masih menjadi kontroversi di kalangan umat Islam. Meski begitu pembahasan dan diskusi terkait kasus tersebut terus dilakukan walau belum mendapat putusan. "Kami di Asyiyah berpandangan perempuan menjadi Imam dibolehkan asal memenuhi beberapa syarat," kata dia kepada Republika Online, Jum'at Siang.
Ia menyebut syarat itu, antara lain, tidak adanya laki-laki yang memenuhi syarat sebagai iman seperti laki-laki mualaf dan tidak memiliki pemahaman yang baik tentang ajaran islam. "Kalau laki-laki tidak bisa menjadi imam, ya, jangan dipaksakan. Begitu juga sebaliknya, jika perempuan tidak memiliki kemampuan memahami ajaran dengan baik ya, jangan dipaksakan juga," ujar dia.
Noordjannah juga menyadari, permasalahan itu memang memancing kontroversi. Namun, umat Islam tidak perlu cemas dan bingung. Ia meyakini ada solusi guna memecahkan persoalan ini seperti melalui dialog antarulama dan lembaga untuk menengahi. "Masalah ini mudah-mudahan memberikan pencerahan," ujarnya,
Ia juga melihat perlunya jembatan antara lembaga, ulama dengan umat harus dipererat. Jembatan ini harus dibangun untuk memberikan arah dan pembinaan yang benar kepada masyarakat. Menurutnya, di balik perbedaan terdapat hikmah yang bisa dipetik dan bernilai penting guna menjadi bahan rujukan di masa depan. "Hukum soal itu perlu tetapi kembali lagi pada soal kepercayaan. Tafsir tidak mungkin bulat utuh," tutur dia.