Senin 05 Jul 2010 23:05 WIB

Ketika Dunia tak Lagi Dihuni Manusia

Rep: Antara/ Red: Budi Raharjo
Bialowieza Puszca
Bialowieza Puszca

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Bagaimana jadinya bila bumi tidak lagi dihuni manusia? Apakah alam dapat mengatur dirinya sendiri dengan baik dan harmonis sebagaimana sebelum datangnya manusia di muka bumi?

Jawaban dari beragam pertanyaan semacam itulah yang ingin dijawab buku "The World Without Us", yang ditulis dengan nada yang puitis dan inspiratif oleh seorang jurnalis AS, Alan Weisman. Diterbitkan di Indonesia dengan judul ''Dunia Tanpa Manusia'' pada 2009, buku setebal 430 halaman ini meraih sejumlah penghargaan termasuk buku nonfiksi terbaik pilihan majalah Time.

Karya Weisman ini berupaya membangun argumentasi bahwa sesungguhnya alam yang nyaris tidak terjamah oleh manusia ialah bagian dari bumi yang relatif terbebas dari beragam kerusakan dan kepunahan sejumlah spesies yang disebabkan oleh manusia. Wartawan yang pernah menulis untuk The New York Times Magazines dan mantan editor di Los Angeles Times Magazines itu mencontohkan kawasan di perbatasan Polandia-Belarusia yang bernama "Bialowieza Puszca" (selanjutnya disebut BP).

BP adalah hutan purba di antara dua negara yang merupakan hutan tua dataran rendah asli terakhir yang masih ada di Eropa. Di tempat tersebut, tulis Weisman, pohon ash dan linden menjulang sampai hampir 50 meter. Kanopi mereka menaungi jalinan kusut dan lembab aneka tumbuhan seperti "hornbeam", paku-pakuan, alder rawa, dan jamur-jamur sebesar piring.

Selain itu, lanjutnya, udaranya yang sejuk dan tidak membuat sesak, diselimuti keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara serak burung gagak pemecah biji, siulan rendah burung hantu kerdil, atau lolongan serigala, dan setelah itu keadaan sunyi kembali. Terdapat beragam alasan mengapa BP relatif terbebas dari jamahan kerusakan tangan manusia, antara lain karena sejak abad ke-14, bangsawan penguasa daerah itu, Wladyslaw Jagiello, mengumumkan kebijakan bahwa hutan itu khusus untuk perburuan keluarga kerajaan.

Kebijakan itu dipatuhi selama berabad-abad, bahkan ketika Nazi Jerman menduduki daerah itu pada Perang Dunia II, petinggi Nazi yang juga (secara mengejutkan) pecinta lingkungan fanatik, Herman Goring, menyatakan seluruh hutan itu terlarang untuk dimasuki, kecuali untuk kesenangannya sendiri. Bahkan saat Polandia dan Belarusia berada di bawah dominasi Soviet, tidak banyak hal yang berubah kecuali pembangunan beberapa vila khusus untuk kalangan pejabat yang ingin berburu.

Namun ironisnya, menurut Weisman, BP yang merupakan cagar alam warisan masa silam itu lebih terancam di bawah pemerintahan Polandia dan Belarusia yang demokratis dibanding ketika selama tujuh abad berada di bawah pemerintahan monarki dan diktator.

Hal tersebut karena Menteri Kehutanan di kedua negara dianggap mengeluarkan gembar-gembor soal peningkatan pengelolaan untuk melestarikan kesehatan BP. ''Bagaimanapun, kebijakan ini sering hanya basa-basi untuk mengesahkan tebang pilih atas pohon-pohon kayu keras yang sudah tua untuk dijual, padahal suatu hari pohon-pohon tua itu dapat menjadi sumber pangan bagi hutan itu sendiri,'' tulis Weisman.

Lantas apa yang akan terjadi di dunia ini bila seluruh manusia lenyap? Maka, apa yang akan terjadi pada alam dan berbagai bangunan yang telah lama dibuat oleh manusia? Weisman mengambil contoh kecil, yaitu sebuah rumah. Rumah yang tidak lagi ditinggali penghuninya akan "digusur" oleh alam melalui elemen air hujan yang deras yang menerpa atap dan melapukkan papan penyekat dan mengakibatkan paku berkarat sehingga cengkraman mengendur. Ketika papan penyekat lapuk, maka integritas struktur dari keseluruhan rumah mulai terpengaruh sehingga kuda-kuda mulai rubuh, dinding mulai condong, dan kemudian atap runtuh.

Itu baru terjadi pada sebuah rumah, bagaimana halnya dengan sebuah kota? Kota yang tidak lagi ditinggali manusia akan "dijajah" kembali oleh alam antara lain dengan banjir besar karena tidak ada lagi manusia yang menggerakkan pompa air raksasa untuk menghalau genangan dari jalan.

Selain itu, berbagai benih tumbuhan liar akan bermunculan di sela-sela trotoar dan jalan raya, dan dalam jangka waktu lima tahun, akar-akar yang perkasa mampu membelah dinding gorong-gorong, yang sudah sangat terbebani oleh sumbatan tumpukan sampah yang dibuang oleh manusia. Sementara daerah yang dulu diuruk, kini tanpa kehadiran manusia, terlahir kembali menjadi rawa-rawa dan dipenuhi oleh beragam keanekaragaman hayati yang tidak pernah muncul saat daerah tepi laut atau pinggir sungai itu diuruk oleh para manusia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement