REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritisi sosialisasi Revisi Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. "Kalau itu ada juga yang perlu diapresiasi. Misalnya electronic precorement. Jangan lama itu implementasinya. Nggak mesti setahun," papar Plh Ketua KPK Haryono Umar, Jumat (6/8).
Selain itu, Haryono menyoroti pula ULP (unit layanan pengaduan) yang masih perlu dispesialisasikan khusus pengadaan saja. Sedangkan, imbuhnya, soal pengadaan harus bisa lebih fleksibel menghadapi bencana dan darurat. "Bencana kan bisa terlihat. Tapi darurat perlu diperjelas bagaimana, supaya tidak terjadi multitafsir," tutur Haryono.
Selain itu, KPK meminta perlu diperjelas soal pemenang tender dan tetap berdasarkan spesifikasi barang. Pasalnya, dalam UU tersebut, ada juga penunjukan langsung obat alat kesehatan yang habis pakai. Termasuk mobil, sepeda motor dan harga lainnya khusus dapat dibeli langsung. Selain itu, sewa hotel, gedung juga dapat ditunjuk langsung.
Namun, Haryono meminta pemberlakuan UU ini masih perlu pengawasan ketat. Lantaran rentan gratifikasi. "Harus ekstra hati-hati pengawas internalnya. Kemungkinan ada gratifikasi disitu, petugas bagian pengadaan kalau dapat komisi harus lapor kepada KPK," sebutnya.
Saat ini,Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan Menteri Koordinator Perekonomian merevisi UU Nomor 80 Tahun 2003. "Kami lakukan revisi Keppres yang dulu disusun seksama oleh pemerintahan sebelumnya, tentu punya tujuan baik," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernas, kemarin.
Revisi Keppres Nomor 80 tahun 2003 dianggap penting karena banyak kementerian yang terlambat menyerap anggaran yang mengakibatkan tidak optimalnya sumbangan atau kontribusi terhadap APBN/APBD. Ini menimbulkan multiplier effect yang mengurangi terciptanya peluang bagi pertumbuhan ekonomi lokal.