REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG-- Pengadilan Belanda di Den Haag menolak tawaran sebuah kelompok separatis (Republik Maluku Selatan) untuk mengeluarkan surat penahanan atas Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan kenegaraan ke Belanda. RMS menuding SBY melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Maluku.
Putusan pengadilan distrik itu juga berarti pemerintah Belanda tidak akan memerintahkan untuk menangkap Presiden Indonesia jika SBY terbang ke Belanda. Pengadilan Belanda menyatakan hanya menolak perintah penahanan tersebut, sementara mengenai tuduhan lainnya belum ada penjelasan. Pengadilan akan memberikan penjelasan detail mengenai hal ini pada pekan depan.
Kunjungan keengaraan SBY seharsunya dimulai bersamaan dengan putusan pengadilan, Rabu (6/10). Kunjungan dijadwalkan dengan sambutan resmi di Istana Noordeinde di Den Haag. Kunjungan ini akan menjadi yang pertama bagi Presiden Indonesia dalam 40 tahun terakhir. Hingga saat ini belum jelas kapan SBY akan menjadwal ulang kunjungan.
Di Jakarta, juru bicara presiden, Julian Aldrin Pasha, sedang menunggu konfirmasi resmi tentang keputusan dari Kedutaan Besar Indonesia di Belanda. Di saat yang sama, pimpinan Republik Maluku Selatan (RMS) di pengasingan, John Wattilete, mengaku tidak terkejut dengan keputusan tersebut dan berjanji untuk mengkonfrontasi Presiden Yudhoyono jika dia mengunjungi Belanda.
"Kami akan memberikan presiden sambutan hangat," kata Wattilete. Ia mengatakan secara damai akan membuat presiden memahami, bahwa SBY telah melanggar HAM.
Atas keputusan pengadilan ini, beluma da tanggapan langsung dari pemerintah Belanda. Pernyataan resmi pemerintah Belanda adalah menyesalkan keputusan Yudhoyono untuk menunda kunjungannya. Namun, Belanda juga meyakinkan bahwa SBY tidak akan ditangkap.
Pemerintah Belanda telah mengukuhkan kepala negara kebal dari penuntutan dan menjelaskan bagaimana prosedur hukum di Belanda bekerja. Den Haag meyakini bahwa hubungan bilateral yang baik antara Belanda dan Indonesia tidak akan terganggu akibat insiden ini.