REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Perang mata uang global antara Amerika Serikat dan Cina tampaknya kian meruncing. Lantaran kandasnya usaha yang ingin dicapai oleh IMF untuk menengahi keduanya.
Sampai saat ini, isu 'perang' mata uang tersebut sudah masuk pada pertemuan tahunan IMF. Di mana dalam pertemuan itu terdapat 187 menteri keuangan, petinggi Bank Dunia, dan pejabat IMF duduk bersama, namun belum juga menemukan adanya penyelesaian untuk mengakhiri 'ketegangan' ini.
Meski demikian, IMF berjanji untuk tetap bekerja sesuai jalurnya untuk mengurangi ketidakseimbangan ekonomi global. Cina nampaknya berusaha mencari dukungan untuk mempertahankan nilai tukarnya pada posisi seperti sekarang ini dalam forum tersebut.
Sampai pembicaraan akhir, pada Sabtu (9/10), dengan capaian sebuah komunike bersama, di mana IMF berjanji untuk "memperdalam kajian" di bidang pergerakan mata uang. Termasuk memberikan wewenang kepada Kepala IMF, Dominique Strauss-Kahn, untuk bertindak sebagai hakim, wasit dan analis dalam berurusan dengan para pemain utama dalam sengketa mata uang, yakni Amerika Serikat, kawasan euro, Cina dan Jepang.
"Komunike ini pada dasarnya untuk mengatasi perbedaan yang tajam mengenai kebijakan mata uang antara Cina dan Amerika Serikat," papar Dominique akhir pekan ini seperti dilansir AP.
Sebelumnya pada Jumat, Menteri Keuangan Timothy Geithner memanfaatkan forum pertemuan tahunan IMF dengan 'menyerang' Cina. Menurutnya, sebagai anggota IMF, China harus rela memperkuat nilai tukar Yuan demi kepentingan pasar. "Ini adalah kewajiban bagi semua anggota IMF," paparnya.
Geithner menjelaskan, Amerika Serikat percaya bahwa rebalancing global tidak maju seperti halnya diperlukan untuk menghindari ancaman terhadap pemulihan ekonomi global. Dia menambahkan solidaritas yang ditunjukkan dibangun dari krisis keuangan global yang berisiko menghilang karena negara-negara seperti China gagal untuk mengalihkan pondasi ekonomi mereka dari permintaan asing ke permintaan domestik.
Sebelumnya, berbagai negara berusaha untuk mendevaluasi mata uang mereka sebagai upaya untuk meningkatkan ekspor dan membuka lapangan pekerjaan selama terjadinya pelambanan ekonomi di negaranya. Namun, usaha itu dapat memicu pengulangan perang perdagangan yang berkontribusi pada Depresi Besar 1930-an, setelah negara memunculkan hambatan proteksionis untuk barang impor.
"Sengketa mata uang ini akan dengan mudah dapat menjadi sengketa perdagangan," tegas Menteri Keuangan Kanada Jim Flaherty.
Seperti diketahui sengketa mata uang global ini sebenarnya sudah terjadi beberapa bulan lalu. Di mana, beberapa negara di Eropa, terutama AS meminta Cina untuk menaikkan nilai tukar mata uangnya. Lantaran mereka menduga, Cina sengaja membiarkan nilai tukar Yuan melemah terhadap mata uang utama dunia, khususnya dolar AS.
Meski demikian, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengungkapkan, tidak mudah bagi Cina untuk memperkuat nilai tukarnya. "Tetapi, upaya tersebut harus dilakukan untuk memecahkan ketidakseimbangan dalam perdagangan global," paparnya.
Juru bicara Komisi Uni Eropa, Amadeu Altafaj menambahkan, Uni Eropa menilai Euro harus menanggung beban yang terlalu berat akibat nilai tukar Yuan yang terlalu murah. "Kami akan menegaskan masalah ini kepada Cina dan AS," tegasnya.
Menanggapi hal itu, bankir utama bank sentral Cina pada Jumat menolak tuntutan untuk mempercepat revaluasi Yuan, dengan menyatakan raksasa 'emerging' (ekonomi dengan pertumbuhan pesat) akan mereformasi secara bertahap dan bukannya terlibat dalam 'shock therapy'.
Di bawah tekanan sengit dari Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, Gubernur Bank Sentral China Zhou Xiaochuan mengatakan, Yuan secara bertahap akan bergerak ke arah tingkat 'keseimbangan'. Ketua IMF Dominique Strauss-Kahn mengatakan, Cina tidak akan diharapkan untuk merevaluasi mata uangnya semalam.
Sebelumnya, AS telah meminta Cina memperkuat nilai tukar yuan sebesar 20 hingga 40 persen dari posisi saat ini. Pasalnya, saat ini AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan China sebesar 145 miliar dolar AS. Dampak jika diberlakukaknya penguatan Yuan, akan dapat membuat perusahaan-perusahaan di Cina bangkrut. Sehingga, bakal banyak rakyat Cina yang kehilangan pekerjaannya dan perekonomian Cina bisa runtuh.
Saat ini perekonomian China menyumbang 50 persen dari perekonomian dunia. Pleh karena itu dapat dibayangkan bagaimana ekonomi jika China dibiarkan jatuh. Sampai saat ini perseturuan kedua negara terus berlangsung dan berusaha menggunakan kekuatan pengaruhnya untuk melenggangkan kepentingan masing-masing.