REPUBLIKA.CO.ID, LATAKIA--Tak disangka, pantai Latakia menjadi ajang reuni sekitar 70 orang “alumni” kapal kemanusiaan Mavi Marmara yang akhir Mei lalu diserang tentara Israel. Mereka tidak kapok dan ikut lagi dalam rombongan darat Viva Palestina-5 menuju Gaza, demi membantu saudara-saudaranya yang sudah 4 tahun ini dikepung Zionis Israel.
Di antara mereka adalah pemilik suara merdu dan syahdu, yang gagah berani mengumandangkan azan di kapal Mavi Marmara saat 600 orang relawan itu diborgol, dijemur di bawah terik matahari, serta ditodong senjata otomatis oleh tentara bajak laut Israel. Di keheningan laut Tengah dan suasana mencekam ketika itu, suara azan lelaki ini menembus langit, mengeja nama Allah dan mengagungkan-Nya.
Muazzin itu bernama Mustafa Nasywan, usianya 41 tahun, sehari-hari imam Masjid Lifta di daerah Nazzal, di ibukota Yordania, Amman.
Mustafa menceritakan kembali detik-detik menegangkan itu. Ketika itu, Mavi Marmara, yang merupakan kapal terbesar di armada Freedom Flotilla, sudah sekitar 6 jam dikuasai tentara bajak laut Israel.
“Saya sebenarnya agak murung karena tidak melihat ayah saya,” kata Mustafa yang kedua tangannya diborgol ke belakang, “Lalu seseorang memberi tahu saya, ayah saya (berusia 82 tahun) ada beberapa meter di belakang saya. Saya jadi semangat lagi.” Waktu itu setiap orang yang bergerak sedikit saja, langsung dibentak dan ditodong senjata oleh tentara bajak laut Israel yang bertopeng hitam.
Ismail Nasywan, ayah Mustafa merupakan relawan tertua di misi kemanusiaan itu.
Karena waktu zhuhur sudah lewat, Mustafa nekat. “Kalau saya sampai ditembak karena azan ini, insya Allah saya akan mati syahid,” kenang Mustafa yang waktu itu disekap di teras dek 4 yang biasa dipakai sebagai masjid oleh para relawan. Di tempat itulah Mustafa juga biasa mengumandangkan azan selama berhari-hari berlayar dengan Mavi Marmara.
Beberapa relawan dari berbagai negara, mengaku kepada Sahabat Al-Aqsha, azan yang dikumandangkan pria ini merupakan azan terindah yang pernah mereka dengar. Mungkin mereka terhanyut juga oleh suasana mencekam waktu itu. Termasuk dokter Arief Rachman dari MER-C Indonesia.
Alhamdulillah, Mustafa tidak ditembak tentara Israel. Beberapa menit seusai azan, ratusan relawan lelaki dan perempuan dalam keadaan diborgol dan sudah dijemur selama enam jam, digiring turun ke kabin penumpang. Kapal dibawa paksa ke pelabuhan Ashdod yang dikuasai Israel. Mereka diinterogasi lalu dipenjara di Beersheva.