REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak setuju dengan kenaikan gaji sebanyak 8.000 pejabat. Karena, sistem penggajian saat ini masih dilakukan secara konvensional sehingga membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono Umar, yang dimaksud dengan sistem penggajian konvensional itu adalah masih adanya uang tambahan di luar gaji pokok. Para pejabat itu masih mendapatkan uang tambahan seperti honor rapat, honor sidang, honor proyek, atau honor perjalanan dinas keluar. “Indikasi korupsinya bersembunyi di balik honor-honor tersebut,” kata Haryono saat dihubungi Republika, Rabu (26/1).
Dengan indikasi korupsi yang bersembunyi di balik honor tersebut, lanjut Haryono, seolah-olah gaji para pejabat itu kecil. Padahal, jika ditambah dengan honor-honor tersebut gajinya jauh lebih besar. “Misalnya gajinya sebenarnya hanya Rp 5 juta, tapi jika digabung dengan honor-honor itu per bulannya bisa mencapai puluhan juta,” ujarnya.
Haryono mengatakan pihaknya telah melakukan kajian terhadap sistem penggajian secara umum di lingkungan Pegawai Negeri Sipil dan para pejabat secara khusus. Hasilnya, KPK menyimpulkan sistem penggajian seperti itu rawan tindak pidana korupsi .
Oleh karena itu, pihaknya beberapa waktu lalu sudah merekomendasikan kepada pemerintah supaya sistem penggajian dilakukan dengan sistem single salary atau gaji tunggal. Dengan begitu, peluang terjadinya tindak pidana korupsi pada sistem penggajian itu bisa ditutup.
Seperti diketahui, pemerintah berencana untuk menaikkan gaji 8.000 pejabat negara. Hal tersebut dilakukan untuk menjalankan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur struktur penggajian pejabat negara.