REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Pemerintah Afghanistan mengumumkan untuk mengambil alih pengelolaan hunian bagi wanita meski muncul protes dan kecemasan di kalangan grup hak asasi manusia bahwa langkah itu justru membahayakan hidup mereka.
Rumah-rumah amah selama ini dikelola oleh yayasan asing dan swasta Afghanistan untuk melindungi para wanita dari kekerasan domestik. Namun sejumlah pemimpin agama dan konservatif menuding mereka melakukan praktek prostitusi dan sengaja memisahkan para wanita dari keluarga merkea.
"Pemerintah Afghanistan, setelah menginvestigasi status rumah-rumah aman tersebut, mengajukan kebijakan bahwa menteri urusan wanita lah yang akan mengambil alih kontrol terhadap seluruh rumah perlindungan wanita yang ada di Afghanistan," ujar Menteri Urusan Wanita Afghan, Husun Bano Ghazanfar, Selasa (15/2)
Ia mengatakan pengambil alihan pengelolaan itu ialah bagian dari proses 'Afghanistanisasi' dibawah militer Afghan dan pemerintah resmi yang akan membawahi semua kepentingan negara dari komunitas internasional.
Namun kelompok hak asasi manusia mengecam rencana itu. Proposal pengambilalihan yang harus disetujui oleh Presiden Hamid Karzai, dan kabinetnya, sebelum menjadi kebijakan resmi, akan menempatkan semua rumah perlindungan di bawah Menteri Urusan Perempuan.
Kebijakan itu akan meminta para wanita untuk menjalani pemeriksaan medis sebelum diperbolehkan masuk fasilitas, mewajibkan mereka mengenakan kerudung setiap saat dan melarang mereka meninggalkan rumah aman kecuali atas izin mentri untuk mengunjungi keluarga.
Kejahatan Moral
Pemeriksaan medis akan dilakukan setiap bulan. Para wanita itu juga akan dikeluarkan dari rumah aman bila keluarga mereka mengatakan menginginkan mereka kembali atau hendak dinikahi, demikian bunyi panduan kebijakan pemerintah Afghan.
Hal yang dicemaskan grup hak asasi manusia, panduan tidak mencantumkan klausul atau mengklarifikasi apakah para wanita yang diminta kembali oleh keluarganya bersal dari keluarga yang pernah menganiaya mereka sehingga para wanita itu pergi, ataukah itu pernikahan paksa atau bukan.
Panduan juga menyatakan para wanita yang diduga atau dituduh melakukan kejahatan moral seperti zina atau lari dari rumah tidak akan diakui dan diterima dalam rumah aman. "Panduan itu justru membuat rumah aman untuk wanita dipertanyakan," ujar Humi Safi dari salah satu grup HAM Afghan.
"Rumah aman yang dikelola pemerintah nantinya cenderung mirip gua yang mendapat tekanan dari keluarga dan suku untuk menyerahkan kembali korban kekerasan. Tentu itu membuat nyawa para wanita dipertaruhkan," ujarnya.
Rumah aman untuk wanita pertama kali dibuka di Afghanistan menyusul invasi AS di negara itu pada 2001. Invasi itu berhasil menyingkirkan Taliban--kelompok garis keras yang melarang para gadis pergi ke sekolah.
Hampir satu dekade sejak Taliban disingkirkan, UN mengatakan dalam laporan setebal 56 halaman dirilis tahun lalu, pernikahan dibawah umur serta pembunuhan demi kehormatan tetap terjadi dalam skala luas. Pihak berwenang dinilai gagal menerapkan hukum yang melindungi para wanita dan gadis.
Kini ada 11 rumah aman yang terdaftar resmi di pemerintah Afghanistan. HRW mengatakan beberapa ari 14 rumah aman terancam ditutup karena pemerintah kekurangan kapasits untuk mengelola fasilitas tersebut. "Ini bisa sangat mengerikan," ujar Humi mengacu pada kebijakan pemerintah.