REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Pembentukan dan penegakan hukum saat ini terkesan telah meminggirkan Pancasila, sehingga mudah dimasuki kepentingan sesaat yang bertentangan dengan cita hukum tersebut, kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. "Oleh karena itu, gagasan revitalisasi Pancasila sebagai cita hukum mendesak untuk tidak hanya diwacanakan, tetapi juga harus dijalankan," katanya dalam pidato ilmiah Dies Natalis Ke-65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Kamis.
Dalam pidato berjudul Revitalisasi Pancasila sebagai Cita Negara Hukum, ia mengatakan, tujuan dari gagasan itu adalah untuk mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai cita hukum, mulai dari pembentukan hukum hingga pelaksanaan dan penegakan hukum.
"Revitalisasi sangat perlu dilakukan untuk menjadikan Pancasila sebagai paradigma dalam berhukum sehingga dapat memperkecil jarak antara 'das sollen' dan 'das sein', sekaligus memastikan nilai-nilai Pancasila selalu bersemayam dalam praktik hukum," katanya.
Menurut dia, yang terpenting untuk merevitalisasi Pancasila sebagai cita hukum negara ini adalah internalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai rambu-rambu pembangunan hukum nasional.
"Nilai-nilai dasar tersebut kemudian melahirkan empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani dalam pembangunan hukum," katanya.
Pertama, hukum nasional harus dapat menjaga integrasi baik ideologi maupun teritori sesuai dengan tujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kedua, hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui mekanisme yang adil, transparan, dan akuntabel.
Ketiga, hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memperpendek jurang antara yang kuat dan yang lemah serta memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun dalam negeri.
Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antarpemeluknya dan tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluk.
Ia mengatakan, revitalisasi bukan hal yang mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Proses revitalisasi tidak dapat dilakukan dengan sekadar sistem pendidikan aparat penegak hukum yang menekankan pada aspek pengetahuan seperti pola penataran P4, tetapi harus terinternalisasi dan menyatu dengan system dan kultur hukum.
"Dalam proses itu diperlukan peran semua pihak, terutama pendidikan tinggi hukum sebagai kawah candradimuka pemikiran-pemikiran hukum dan institusi yang bertanggung jawab atas kualitas dan integritas para ahli dan praktisi hukum Indonesia," katanya.