Jumat 05 Nov 2010 03:12 WIB

Dunia Kedokteran Indonesia Tak Mungkin Bebas dari Malpraktik

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG--Kandidat doktor ilmu hukum, Eka Julianta Wahjoepramono mengatakan, praktik kedokteran tidak terlepas dari kelalaian dan perlu dikaji lebih serius dalam pandangan hukum kedokteran, sehingga memberikan kedudukan seimbang antara dokter dan pasien. "Tujuannya untuk mencari perlindungan dan jaminan hukum kedua pihak (dokter dan pasien, red). Kelalaian medik yang sering diistilahkan dengan malapraktik mempunyai perbedaan dengan risiko medik, sehingga perlu adanya jaminan hukum," kata Prof Dr dr Eka Julianta Wahjoepramono di Tangerang, Kamis.

Eka Julianta Wahjoepramono mengungkapkan hal tersebut menjawab pertanyaan penguji Prof Dr Indriyanto Seno Adji SH MH dalam sidang promosi terbuka gelar doktor ilmu hukum pada Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tangerang, Banten.

Dekan Fakultas Kedokteran UPH dan spesialis bedah syaraf RS Siloam, Karawaci, Tangerang, itu tampil dengan disertasi berjudul "Alasan Pembenar Tindakan Medik Menurut Undang-Undang Praktek Kedokteran dan Standar Operasional Prosedur Dalam Sengketa Hukum Malapraktik".

Menurut dia, disertasi ini didasari oleh maraknya tuntutan pasien terhadap praktik di bidang kedokteran yang terjadi di Indonesia, dan mengacu pada negara Amerika Serikat yang sengketa hukum malapraktik sudah lebih lengkap.

Namun di Indonesia, katanya, masih terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan keluarganya dengan hasil terapi medis yang tidak sesuai dengan harapan, terkadang menimbulkan praduga bahwa dokter melakukan malapraktik.

Dia menambahkan, karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya hasil buruk atau tidak diharapkan selama dirawat di RS) sebagai akibat malpraktek medis atau akibat kelalaian medis.

Padahal suatu hasil tidak diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya, dari suatu perjalanan penyakit yang tidak berhubungan dengan tindakan medis dilakukan dokter serta hasil dari suatu resiko berlebihan karena suatu kelalaian atau karena suatu kesengajaan.

Fenomena lainnya yang sering menimbulkan sengketa medik dikarenakan faktor penyedia jasa medik, dalam hal ini RS dan dokter.

Bahkan, tambahnya, banyaknya RS tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga kesehatan maupun dokter, sehingga seorang dokter praktik di satu rumah sakit kemudian praktik juga pada tempat lain dan kadang di klinik milik pribadi bahkan sering menimbulkan yang dinamakan "malapraktik" karena kurangnya ketersediaan waktu bagi dokter untuk belajar dan memahami ilmunya.

Berbagai kasus kelalaian praktek kedokteran yang dibawa ke meja hijau juga dapat menjerat dokter dengan gugatan perdata dan harus menghadapi proses yang berkepanjangan. Hal ini kemudian menjadikan profesi kedokteran menjadi berlebihan karena takut dituntut dan akibatnya biaya berobat akan dipikul pasien menjadi sangat mahal.

Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa koridor hukum antara hak-hak pasien dan hak-hak dokter perlu diperjelas, antara kasus yang tergolong malpraktik atau sengketa medik lainnya.

Demikian pula supaya pihak dokter semakin profesional dan ahli di bidangnya sehingga dapat memberikan pelayanan medis dengan tepat dan benar, maka di lain pihak juga perlu mengerti hak-haknya sehingga tidak serta merta membawa sengketa medik ke pengadilan.

Eka meraih gelar doktor hukum yang ke-7 di UPH dan dia mendapatkan nilai lcum laudel di hadapan rektor UPH Dr Jonathan L Parapak dan beberapa tim penguji lainnya di antaranya Prof Ronny Nitibaskara dan Prof Sri Setyaningsih.

sumber : Ant
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement